Kamis, Januari 10, 2008

Kemerdekaan Hati, CHIC

Kemerdekaan Hati
Cerpen Sukma Wie



Aku sudah capek hidup dengan Mas Danang. Ia tak pernah mau mengerti perasaanku, kesulitanku, apalagi posisiku sebagai istri yang setiap hari mengurusi rumah dan seisinya.

Ia enak. Pulang kerja, semua sudah tersedia. Makanan hangat, handuk empuk, dan tempat tidur yang nyaman. Semua kusiapkan dengan penuh cinta.

Aku selalu berdebar menunggunya setiap petang tiba. Seolah-olah sedang menunggu diapeli kekasih di malam minggu. Dan kenyataannya memang begitulah yang kurasakan. Di ujung setiap hari kerja aku selalu menunggu Mas Danang mengapeliku.

Selalu kubayangkan wajahnya yang tampan walau terlihat agak lelah. Rambutnya yang di waktu pagi tersisir rapi, pulang sore tampak sedikit acak, membuatnya kelihatan begitu seksi dan menggoda. Dasinya dibiarkan longgar, dan bau tubuhnya yang masih menyisakan wangi parfum pagi –pada sore hari tercium lebih menggairahkan karena sudah tercampur sedikit peluh, membuatku kangen dan bersemangat setiap kali menyambut Mas Danang pulang. Apalagi kalau pulang-pulang mata dan tangannya yang nakal merayuku, sungguh segala kejenuhanku menunggu seharian di rumah jadi lepas terbang. Itu pula alasan mengapa aku pasrah dan terima saja ketika Mas Danang melarangku kerja untuk sementara waktu.

“Aku takut begitu aku pulang aku tidak menemukan wajah istriku yang cantik dan selalu membuatku merasa segar,” kata Mas Danang genit, memberi alasan.

“Memangnya aku bonekamu?”

“Apa salahnya kalau kuanggap begitu? Kau adalah bonekaku yang cantik dan seksi. Aku bersyukur punya boneka seperti kamu,” lalu tawa Mas Danang membuncah renyah menggelitiki kupingku.

Aku langsung bergelung manja dalam pelukannya. Dan aku merasa tidak ingin keluar selama-lamanya. Karena aku tahu, dalam pelukan Mas Danang aku mendapatkan seluruh kebutuhan emosiku terpenuhi. Rasa aman, rasa cinta, rasa dimiliki, rasa setia, rasa bahagia…

***

Tapi sekarang aku benar-benar kesal sama Mas Danang. Entah mengapa, pada suatu sore tiba-tiba ia merasa banyak yang kurang. Masakan yang kurang garam, aku yang katanya kurang wangi, tempat tidur yang katanya kurang rapi, kamar mandi yang katanya kurang bersih, sampai hari-hari berikutnya menyusul: kurang rapi lipatan kemejanya, aku yang katanya kurang dandan, kurang cantik, dan terakhir yang membuatku terhenyak: rumah kurang ramai!

Inilah yang kutakutkan. Sudah lima tahun kami menikah, tapi belum sekejap pun kami diizinkan Tuhan untuk mencicipi cericit tangis sesosok bayi. Padahal kami sudah berusaha semampu kami. Mulai dari periksa medis yang menunjukkan kami sama-sama sehat dan normal, hingga mencoba pengobatan alternatif. Tapi hasilnya selalu nihil. Kami memang nyaris putus asa, tapi kami selalu menyiasatinya dengan bersikap romantis setiap hari di rumah. Itu setidaknya bisa mengenyahkan pikiran –terutama Mas Danang dari hasrat tak sabar untuk segera memiliki anak.

Dan sekarang Mas Danang ingin kembali mengangkatnya ke permukaan?

Terus terang, aku tidak bisa tenteram. Kalau sekadar kurang sempurna keadaan di dalam rumah atau penampilanku, aku masih bisa mencuekkannya. Tapi kalau kurang bahagia karena kurang ramai disebabkan tak ada celoteh riang sang buah hati, aku sungguh tidak bisa mengenyahkannya dari benakku. Aku begitu kuatir, ini bisa menjadi penyebab cinta Mas Danang menyusut kepadaku. Biar bagaimanapun, kenyataan dan sejarah membuktikan bahwa wanitalah yang senantiasa menjadi kambing hitam masalah kesulitan mendapat anak, atau paling tidak, wanitalah yang merasa paling menderita dan terbebani rasa was-was. Dan inilah yang menimpaku kini.

Makin lama Mas Danang makin menjadi-jadi. Dan makin lama aku makin tidak tahan. Makin lama aku makin capek. Pertengkaran pun tak terelakkan. Sekuat daya aku berusaha menahan agar airmataku tidak keluar agar aku tidak tampak lemah di mata Mas Danang, tapi selalu saja gagal. Hingga suatu ketika, aku dihempaskan oleh suatu kenyataan pahit yang membuat duniaku seakan runtuh berkeping-keping.

Secara tak sengaja aku membaca SMS yang masuk di handphone Mas Danang yang hari itu entah mengapa terlupa di atas wastafel kamar mandi. From Keyren. Siapa Keyren?

Aku mengernyitkan kening mengingat nama-nama teman sekantor Mas Danang yang pernah ia sebutkan, tapi rasanya aku tidak mengenalnya. Pesan di display berbunyi: “Ntar mlm di zanzi. Jam 7. Ok?

Buru-buru aku meletakkan kembali di tempatnya ketika kudengar suara mobil masuk garasi. Mas Danang pasti baru mengingatnya.

Berlagak tidak tahu apa-apa, aku mengasyikkan diri di dapur dengan setumpuk bumbu dan bahan. Tanpa sapa tanpa suara, bayangan mas danang tampak melesat ke toilet lalu balik lagi ke luar. Dan sesaat kemudian terdengar suara mobil meraung pergi.

Aku sibuk merencanakan sesuatu. Pukul 6.45 malam aku sudah duduk anteng di salah satu sudut tersembunyi di Zanzibar. Benar saja, beberapa menit kemudian kulihat bayangan Mas Danang bersama seorang gadis manis yang bergelayut manja di lengannya.

Mereka mengambil duduk di sudut yang jauh. Aku tak perlu terlalu lama melihat adegan mesra mereka, karena dadaku sudah hampir terbakar habis. Cepat-cepat aku membayar bill-nya dan menyelinap ke luar tanpa mencolok. Keputusanku sudah bulat: cerai.

***

“Cerai?”

“Ya, aku sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan Mas Danang. Kalau aku tetap bertahan, bisa-bisa aku bunuh diri!”

“Tapi pikirkanlah dulu.”

“Tidak. Aku sudah tak tahan.”

“Bagaimana kau tahu itu pacarnya? Bisa saja itu salah seorang kliennya.”

“Dengan gaya menggayut manja dan peluk-pelukan?”

“Masa iya sih Mas Danang gitu?”

“Kamu nggak liat sendiri sih. Kalo liat pasti kebakar.”

“Tapi ada baiknya kamu konfirmasi dulu, Ir.”

“Cukup. Bagiku sudah cukup alasan untuk minta cerai. Sikap anehnya yang tidak menghargaiku belakangan ini, jarak yang sudah kami buat sekian lama, untuk apa lagi sih dipertahankan? Aku bahkan ingin cepat-cepat mengakhiri.”

“Ir,” Evelyn, kakakku yang tertua itu tiba-tiba mengubah suaranya lebih serius. “Coba renungkan, apa benar kamu sudah tidak mencintai suamimu?”

Aku terdiam. Sekelebat terbayang masa-masa manis di awal pernikahan kami. Bahkan lima tahun sebelum enam bulan terakhir yang penuh horor, kemanisan itu masih kami kecap. Mas Danang yang nakal tapi lembut, tatapan dan senyumnya yang selalu menggoda, ucapan-ucapannya yang menggelitik, wangi khas tubuhnya yang membuatku kangen… sekelebat! Tapi sekelebat kemudian adalah Mas Danang yang kejam: dengan segala complain-nya, dengan segala sikap dinginnya, dengan segala kata-kata sinisnya, dengan… selingkuhnya! Tuhan, haruskah aku bertahan dengan keadaan semengerikan itu?

“Tidak,” kataku akhirnya. “Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya lagi.”

“Tapi cinta tidak perlu alasan, Irna.”

“Tapi ikatan perkawinan selalu butuh alasan. Dan kalau alasan untuk bersama itu sudah lenyap, untuk apa lagi dipertahankan?”

Evelyn akhirnya cuma menarik napas dan mengangkat bahu. “Mau aku atau kamu sendiri yang ngomong sama Bapak dan Ibu?”

“Biar aku sendiri.”

“Mereka pasti sedih.”

***

Kesedihan memang memayungi ruang pengadilan cerai siang itu. Tapi hanya beberapa saat. Karena beberapa saat kemudian, setelah hakim memutuskan, kelegaan luar biasa yang kurasakan.

Aku melirik Mas Danang. Entah pura-pura atau sungguhan, ia tampak tercenung lama dan seperti orang bingung. Waktu pertama kali kuutarakan maksudku minta cerai dengan segala alasan yang logis, ia memang berusaha membela diri. Memintaku mencoba mengerti dia (hmmm…emotional blackmail), tapi aku sudah tidak mau mendengar. Berapa lama coba aku telah bersabar diri untuk memahami dia? Kalau dia bersikap lemah terus dan seolah tak bertanggung jawab begitu, lama-lama kekaguman yang pernah singgah di hatiku dulu bisa terhapus habis.

Aku harus punya sikap. Aku harus berani menunjukkan bahwa aku tidak bisa terus-menerus dijajah oleh laki-laki itu. Aku bukan wanita yang rela hidupnya terbelenggu dan hanya berangan-angan tentang suatu kebebasan. Cukup sudah penderitaanku. Kini aku ingin merasakan kemerdekaan hati yang sebenarnya.

Di ujung sana, aku tahu, seseorang sudah menunggunya untuk menghidangkan kebahagiaan yang diharapkannya. Di ujung lain, aku berharap kebahagiaan baru sudah menungguku pula. Semoga. ****

2 komentar:

keujanandaripagi mengatakan...

whua.. penulis cerpen!!! huhum, gag salah gabung penulisindonesia.com..
nice stories, kip those up ^_^
lam kenal..

Sukma Wie mengatakan...

lam kenal juga... kasi kritiknya dunks... hehe... thx...