Kamis, Januari 10, 2008

Joylicious, CHIC

Joylicious
Cerpen: Sukma Wie


Aku bertemu Joy pertama kali duapuluh bulan yang lalu. Waktu itu aku sedang iseng main ke Pasaraya Grande dan nyantai sebentar di sebuah kafe di lantai tiga. Seperti biasa, aku tidak pernah melewatkan pemandangan yang ‘indah-indah’ dari balik Donna Karan-ku. Aku duduk sendiri sambil sesekali menyeruput caffe latte yang tersaji di depanku. Begitu banyak lajang-lajang (atau tampaknya lajang?) yang berkeliaran memamerkan gaya dan bodinya di depan mata. Tapi lebih banyak lagi yang lalu-lalang dengan pasangannya masing-masing yang bergayut manja di lengannya. Mungkin istrinya, kekasihnya, atau mungkin pula selingkuhannya. Aku tidak begitu tertarik untuk membahasnya lebih jauh.

Yang lebih mengganggu perhatianku, ketika tiba-tiba aku menyadari sedang diperhatikan dari jarak yang tak begitu jauh. Aku menoleh dan, olala… sepasang mata hitam nan tajam sedang menatapku kemudian tersenyum begitu tahu aku meliriknya. Agak kikuk, aku coba membalas senyumnya. Dan tanpa kusangka tiba-tiba ia sudah bergerak menuju ke arahku.

“Sendiri, Mbak?” tanyanya langsung, nyaris menyerupai bisikan.

“Oh… ya, sendiri,” jawabku sekenanya.

“Boleh aku duduk di sini?”

“Oh, silakan.”

Ia lalu menarik kursi dan duduk tepat di hadapanku. Sesaat kemudian seorang waiter menghampiri dan ia memesan sesuatu.

“Kamu…,” aku mengedarkan lirikan ke mejanya semula, “… sendiri juga?”

“Tadi bareng teman-teman… ng… fitness di atas, tapi mereka sudah pergi. Sebagian dijemput pacarnya.”

“Kamu sendiri… belum punya pacar?”

“Ah… Mbak bisa aja. Apa ada potongan?”

Aku tersenyum. Kuperhatikan lebih seksama wajahnya. Gile ni anak, batinku. Cakep banget! Potongan kayak begini seharusnya punya seribu pacar. Lihatlah matanya yang hitam dan terang. Alisnya yang rimbun, seperti payung teduh yang menaungi ketajaman sorot matanya itu. Bibirnya… duh, padat berisi dan segar pula. Raut rahangnya begitu kentara, membuat dia tampak bagai dewa-dewa Hollywood yang macho dan menggairahkan. Hidungnya yang tinggi dan mancung, otot yang bersembunyi di balik kausnya yang sedikit basah oleh keringat itu, tiba-tiba saja membuatku….

“Teman-teman biasa manggil aku Joy,” tiba-tiba tangannya sudah terjulur di depan wajahku.

Aku segera menyambutnya dengan lembut, “Mirna.”

“Waaw… nama yang cantik, secantik orangnya!” serunya spontan.

Aku agak tersipu dipuji begitu. Padahal tentu saja dia bukan lelaki pertama yang memujiku. Ah, jadi ingat Mas Rige. Laki-laki itu pun suka memuji dan merayuku dengan romantis sebelum kami melakukannya. Tapi itu dulu, dulu sekali di masa-masa awal perkawinan kami. Kini… ah! Kutepis jauh-jauh bayangan lelaki itu dari benakku.

“Ng… Ke sini lagi mo belanja ya?” tanyanya hati-hati.

“Oh nggak. Iseng aja, daripada sepi di rumah.” Aku menaksir usianya mungkin duapuluhan, melihat ototnya yang tampak padat berisi dan lengannya yang agak berbulu. Anak kuliahan mungkin, atau karyawan yang baru kerja.

“Kalo gitu, boleh aku temani?” sinar keramahan belum juga sirna dari wajahnya. Terus berpijar, membuatnya tampak begitu menarik.

“Oh, boleh,” sahutku segera. “Tapi… apa kamu tidak… kuliah atau kerja?”

Ia tersenyum. “Aku masih sekolah. Dan aku masuknya pagi. Sekarang ‘kan udah jam lima.”

Ha? Aku nyaris tak percaya dengan pendengaranku. Masih sekolah? Segede dan sematang ini? Apa nggak salah? Tapi aku berusaha menetralisir gemuruh yang mengguncang dadaku.

“Wah… kalau begitu kebetulan dong. Aku lagi butuh temen, dan kamu lagi bebas.”

“Ini namanya jodoh!” ia tertawa memamerkan giginya yang rapi dan kokoh.

Aku ikut tertawa. Dan beberapa detik kemudian kami sudah turun lalu meluncur pelan dalam mobil yang kukendarai.

“Enaknya ngapain ya?” tanyaku begitu melewati Sudirman yang padat.

“Aku sih terserah, gimana asyiknya aja.”

“Oh ya, gimana kalo kita ke diskotek?”

“Boleh.”

Tapi tiba-tiba aku membayangkan banyaknya gadis-gadis cantik di sana, bisa-bisa… “Ah, nggak. Kurang asyik! Gimana kalo bilyar?”

“Boleh juga tuh.”

Tapi di sana juga nggak sedikit cewek-cewek genit. “Ah, kurang asyik! Kalo bowling? Ah, nggak… aduh gimana ya? Ada usul nggak?”

“Kenapa nggak candle light dinner aja di rumah. Kita mesen makanan, dan….” Kami saling melirik. Aduh, matanya! Badanku rasanya langsung meleleh. Tahu-tahu tanpa kuduga tangannya yang kukuh dan muda itu sudah menangkap dan meremas tangan kiriku. Aku semakin meleleh.

“Aku… kupikir… itu ide yang bagus,” ucapku terbata sambil menelan ludah.

Mobil pun kubelokkan ke arah selatan, menuju puri cintaku yang sehari-harinya selalu sunyi. Dan malam itu, kami benar-benar melakukannya. Ia yang masih muda dan kuat, ternyata begitu lihai membangkitkan gairahku. He’s so delicious! Kini aku hidup kembali.

***

“Gila lu, Mir!” Bertha, sahabatku di kantor yang sehari-hari menjadi bawahanku memekik tak percaya begitu kuceritakan padanya tentang Joy. “Anak ingusan gitu lu embat juga?”

“Dianya yang mancing, dianya yang mau, dianya yang inisiatif, aku sih pasrah aja!”

“Itu sih namanya pasrah membawa nikmat. Pasti lu godain dia!”

“Enak aja! Dia yang godain, dia juga yang membuatku melayang!”

Tampak wajah Bertha memelas kepingin ketika kusebutkan kata ‘melayang’. Aku tahu dia pun setali tiga uang denganku. Sejak ia menikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi kakeknya, ia selalu punya hasrat yang tak terkendali setiap kali melihat lajang-lajang muda yang masih segar. Katanya, suaminya tak pernah memuaskannya. Selalu berhenti sebelum selesai. Tenaganya pun di bawah standar, bahkan jauuuuh di bawah anak-anak muda yang kerap dikencaninya. Iya-lah… namanya juga orang tua! Tapi itulah nasibnya. Ia harus menerima lamaran laki-laki itu untuk menebus utang orangtuanya yang menumpuk.

Awal-awalnya ia sempat stres, sama sepertiku ketika Mas Rige pertama kali berlayar lama dan jauh. Tapi lama-kelamaan jadi biasa, bahkan menyenangkan. Tentu saja karena kami sudah menemukan solusinya. Ya, anak-anak muda itu! Mereka kalau tidak dibayar, ya diseneng-senengin aja hidupnya! Pasti mau melakukan apa saja yang diminta. Bagi aku dan Bertha, soal materi no problem. Suami kami lebih dari cukup melimpahi kami dengan tumpukan harta. Tapi tidak dengan tumpukan kebahagiaan. Karena itu kebahagiaan harus kami kejar sendiri. Untunglah aku masih bisa menyibukkan diri dengan membuka advertising agency dari modal sendiri. Jadi masih ada kegiatan lain yang bermanfaat, tapi Bertha?

Karena kasihan, aku pun memanggilnya untuk bergabung denganku, bantu-bantu menangani klien yang semakin lama semakin membanjir. Tentu saja ia senang. Karena tak jarang pula ia menemukan klien-klien muda dan segar yang sekalian bisa diajak kencan. Tapi untuk anak sekolahan yang menurutnya ‘masih ingusan’ (aku ragu apakah Joy pantas masuk kategori itu karena ia begitu matang dan berpengalaman), baru kali inilah aku alami. Dan bagi Bertha itu sesuatu yang amazing. Aku tahu sebetulnya diam-diam dia iri mendengar ceritaku tentang kehebatan Joy, makanya ia selalu memekik tak percaya lalu nelangsa.

Aku tersenyum geli dan menghalau pandangan nelangsanya. “Udah ah, kalau kamu mau, aku bisa kenalin. Moga-moga dia pun nggak nolak.”

“Aku lagi mikir, kenapa juga anak semuda itu mau-maunya jadi…”

“Eit, belom tentu! Bisa aja karena libidonya emang gede dari sononya, jadi ya begitu kenal sama orang-orang seperti kita, gayung bersambut! Buktinya dia nggak minta macam-macam, nggak mau dibayar, nggak mau dikasih apa-apa. Just have fun!”

Saat itu kami ngerumpi di sebuah pojok kafe hotel yang agak sepi, jadi bebas dari kupingan anak-anak kantor. Kami bebas berhaha-hihi, kami bebas ngomong yang ‘serem-serem’ untuk mengekspresikan pengalaman seksual kami, kami bebas larak-lirik cowok-cowok keren yang lewat satu-satu dan membayangkan apa yang terjadi selanjutnya bila kami berkenalan dengan mereka siang itu.

Sebetulnya di kantor pun banyak yang masuk kriteria, terutama di divisi kreatif. Di sana kebanyakan sarang anak muda macho yang penuh semangat dengan ide-ide liarnya. Tak heran kalau lembur bareng, di kepalaku suka timbul pikiran yang macem-macem. Tapi aku dan Bertha punya aturan main yang ketat: tidak boleh mengencani karyawan di kantor! Itulah sebabnya kami lebih banyak have fun di luaran. Gosip sih pasti ada. Tapi kami sudah tak mau ambil pusing, sampai gosip itu lenyap sendiri. Yah… beginilah nasib istri-istri kesepian yang haus kasih sayang.

“Eh… lu kan ada meeting sama Pak Lukas siang ini. Siap-siap gih!” ucap Bertha tiba-tiba menyentakku.

“Oh iya, hampir lupa.” Kami pun berdiri lalu berbarengan meninggalkan tempat itu.

***

“Aku mencintai Mbak,” ucap Joy memelas. Saat itu ia bergelung manja dalam pelukanku setelah kami menuntaskan permainan pertama.

Aku mengecup rambutnya yang wangi dan berusaha mendekap bahunya yang lebar dan kekar. “Don’t ever talk about that,” ucapku lembut, nyaris menyerupai bisikan di telinganya.

“Kenapa?”

“Aku sudah punya suami, dan kamu…”

“Tapi suami Mbak nggak pernah membahagiakan Mbak. Buktinya dia cuma muncul sekali setahun.”

“Dia berlayar, Sayang.”

“Itu namanya nggak bertanggung jawab.”

Aku ingin tertawa geli mendengar omelan polosnya.

“Trus, kamu mau bertanggung jawab?” tanyaku.

Ia terdiam. Aku tahu ia bingung menjawabnya. Harus kuakui ucapan Bertha kalau dalam hal satu ini. Ia memang kadang bersikap selayaknya usianya. Polos dan manja.

“Sudahlah, masa depan kamu masih panjang. Suatu ketika kamu akan menemukan gadis yang sepantaran denganmu.”

“Aku nggak suka cewek seperti itu. Mereka kolokan dan egois.”

“Tapi lama-lama kan juga pasti dewasa.”

“Kapan? Aku ingin kawin sekarang.”

“Hei,” aku menatap matanya dalam-dalam. Mata yang membuatku lupa dengan usianya yang jauh di bawahku. Mata itu… begitu jantan dan menggoda. “Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?”

Cowok itu mengangguk.

“Dari mana kamu menghidupi keluargamu? Kamu kan masih sekolah.”

“Aku bisa merampok ayahku!”

Aku tertawa geli.

“Serius,” katanya dengan gaya sok dewasanya. Kalau sudah begitu, gairahku timbul kembali. Aku memeluk dan menciumnya.

“Sudah,” kataku kemudian. “Lebih baik kita nikmati aja malam ini. Nggak usah mikirin yang macem-macem. Oke?” aku mengerling manja dan menggoda.

Aku melihat rupanya usahaku tidak sia-sia. Gairahnya bangkit kembali. Dan kami menuntaskan permainan kedua yang pasti akan membuat Bertha terkaing-kaing ngilu digigit rasa cemburu!

***

Dan hari ini aku kembali bertemu Joy. Setelah berbulan-bulan ia menghilang tak berjejak dan tanpa sebab, kini ia hadir kembali di depan mata. Aku sudah hampir memeluk dan menciumnya karena rindu yang tak tertahankan kalau tak segera sadar bahwa kami tidak cuma berdua di kafe itu.

“Siapa?” tanyaku agak kurang senang.

“Calon istriku.” Ia lalu memperkenalkan gadis yang bersikap canggung di sampingnya. Namanya Mita. Heh, mirip-mirip namaku?

“Semuda itu?” tanyaku lagi nyaris berbisik.

“Lho, Mbak sendiri kan yang nyaranin supaya aku mencari calon istri yang sepantaran?”

“E…” aku tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba saja aku merasa menyesal telah memberi saran sialan itu. “Tapi… kalian bener-bener serius mau nikah?”

“Iya.”

“Sekolah kalian?”

“Kami ‘kan udah tamat. Ngapain lagi?”

Pendek benar pikirannya! “E… maksudku, bagaimana kalian membangun rumah tangga…”

“Soal materi urusan kedua, Mbak. Yang penting kami bahagia. Iya kan, Mit?”

Gadis itu mengangguk, masih canggung. Diam-diam suatu perasaan aneh menjalari batinku. Hegh, apakah aku cemburu? Oh, no, aku nggak mungkin cemburu pada anak yang masih bau kencur ini. Tapi… bukankah itu berarti aku akan kehilangan Pendekar Perkasa-ku? Yang membuatku susah mencari tandingannya dalam sepuluh bulan terakhir sejak kehilangannya? Oh, no, ini benar-benar di luar dugaanku. Tiba-tiba saja aku merasa pening. Membayangkan aku akan kehilangan gairah di hari-hari berikutnya, benar-benar memukul ulu hatiku.

“Oke deh, kalo gitu, selamat ya?” ucapku perih sambil mengulurkan tangan.

Ia menyambut dan menggenggamnya kuat-kuat. Aku hampir menangis sedih. Apalagi setelah itu kemudian kulihat tubuhnya dan sosok gadis itu beranjak pergi menjauh. Semakin menjauh.

Kini aku benar-benar menangis.

***

Begitu kuceritakan tentang pertemuan terakhirku dengan Joy, tak henti-hentinya Bertha menarik tissue untuk menyapu pipinya yang basah.

“Lho, kok kamu ikut-ikutan nangis sih?” tanyaku heran, tiba-tiba sadar dengan sikapnya yang berlebihan. Saat itu kami berada di ruang kerjaku yang sengaja kukunci dari dalam.

“Sedih.”

“Iya, tapi kenapa kok kamu lebih sedih dari aku? Padahal yang punya cerita ‘kan aku.”

“Sedih… belum sempat ikut ngerasain…. Huk-huk…”

Diam-diam aku tersenyum geli. Akhirnya keluar juga harapannya yang terpendam. Kasihan Bertha. Selama ini ia merasa iri dengan reputasiku yang selalu beruntung. Untung kamu dapat daun muda banget, katanya. Untung kamu nggak diporotin. Untung kamu dapat --yang biar muda tapi kuat dan nggak canggung, malah selalu memuaskan. Untung… untung kamu nggak seperti aku!

Tapi ah… seuntung-untungnya aku, akhirnya ditinggalkan juga. Akhirnya dibiarkan sepi juga. Akhirnya dibiarkan kembali merana. Sampai aku bisa menemukan yang lain lagi. Tapi, apakah itu gampang? Aku mungkin bisa tinggal angkat telepon mengorder dari pengantara-pengantara terselubung, tapi apa bisa aku menemukan yang sehebat Joy? Ah, lama-lama aku merasa tak bergairah lagi kalau selalu mengingat anak itu. Pengalaman dengannya benar-benar membuatku susah melupakannya.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

“Ya?” sahutku kencang-kencang.

“Sudah ditunggu meeting, Bu!” teriak Santi, sekretarisku dari balik pintu.

“Ya, sebentar lagi, San!” lalu buru-buru aku berkata kepada Bertha. “Cuci muka sana gih! Ntar diliput infotainment lagi! Aku tunggu di ruang meeting ya!” lalu aku bergegas ke pintu. Mungkin besok tak ada lagi order-orderan. Tak ada lagi daun muda. Tak ada lagi selingkuh-selingkuhan. Joy is the best and the last boy!

Tapi apa mungkin?***

Tidak ada komentar: