Rabu, Januari 30, 2008

And the Guy Who Sent A Valentine Bouquet is... CHIC No. 4, Februari 2008

And The Guy Who Sent A Valentine Bouquet Is…
Cerpen Sukma Wie


Audy selalu memberi kejutan di pagi hari. Apakah itu gosip tentang Mr Estes bos kami yang cool, atau sebuah rush job yang harus selesai sebelum pukul 12.00 a.m teng! Dan itu pasti memancing komentar teman-teman seisi kantor dengan nada yang sama seolah-olah sebuah koor paduan suara: “ha??”, “masa’ siiih??”, “ahh…yang bener?!” “Masa si bule gitu?” atau… “duh, mati gue!”, “apa ngga bisa diundur due midnight?”, “bakalan sport jantung gue pagi ini!”, “gile lo Dy, ngerjain orang pagi-pagi!”

Tapi begitulah. Audy selalu tak mau peduli. Sebagai sekeretaris Mr Estes, katanya ‘dia cuma menjalankan tugas’. Ya, Audy memang sudah terkenal sebagai terminal distribusi tugas-tugas rush job sekaligus gosip center si bos.

Namun pagi ini kejutannya agak berbeda.

“Pagi, Chita!” sapa Audy seperti biasanya, ramah dan misterius-progresif.

“Pagi, Dy!” balasku tak kalah ramah. ”eh, si bule udah datang, blom?” sambungku dengan nada dan volume diturunkan 50%.

“Tenang…si bule blom datang…tapi ada penggantinya,” senyum Audy semakin misterius-progresif.

“Penggantinya? Emang si bule udah ciao?”

”Masih...masih... tapi ini maksud gue bukan pengganti si bule, tapi pengganti gosip tentang si bule.”

”Kejutan atau kutukan?”

”Tergantung cara lo memandangnya...tapi kayaknya lebih deket ke kutukan deh...huehehe...” Audy tertawa ngakak, ”Kutukan manis!” sambungnya seru.

”Ah elo!” aku baru mau beranjak pergi ke mejaku yang berada di ruangan di sebelah ruangan Audy ketika mataku tiba-tiba menangkap benda menarik yang dikeluarkan Audy dari bawah meja. ”Buket dari mana, Dy? Gile, romantis banget! Ada juga yang khilaf mau merhatiin elo hihihi...”

”Ini bukan buat gue, tau...tapi buat elo!”

”Gue??”

“Nih…” Audy menyodorkan buket bunga yang terkemas indah dengan pita pink yang…aduuuuh romantis banget! “…tanpa nama pengirim, tanpa tanda terima, satpam yang bawa kemari…katanya dari seorang cowok…sejak kapan ada cowok yang khilaf merhatiin elo?”

Aku tidak menyimak ucapan dan gurauan Audy. Kepalaku langsung dipenuhi tanda tanya. Siapa yang ‘berani-berani’nya mengirim tanpa mencantumkan nama pengirim dan alamat begini? Pasti kalau bukan teroris, ya manusia gokil yang mau mengerjai aku. Tapi siapa? Hezel yang anak art itu memang suka godain aku, tapi untuk iseng mengirim buket bunga yang (jujur aja menurutku rada-rada norak) seperti ini, kayaknya nggak mungkin deh. Atau Ary yang misterius itu? Atau ini taktik Audy (dan teman-teman) aja yang kurang kerjaan tiba-tiba kesambet pikiran iseng mau mengerjai aku dengan mengarang cerita dikirim sama cowok? (tapi ini bisa aku konfirmasikan ke satpam apa benar). Lantas siapa ya? Semua berpusaran di benakku dan tak satu pun menyimpulkan kepastian. Agaknya aku harus mencari tahu sendiri siapa pelakunya, atau forget it (toh nggak penting-penting amat). Siapapun pengirimnya, yah.. thank you aja deh.

***

Valentine.

Hmmm. Sebuah kata yang manis tapi sekaligus pahit buatku. Manis, karena telah menggoreskan berpuluh musim indah bersama Gibran yang takkan pernah kulupakan. Namun juga pahit, karena di hari istimewa ini pulalah Gibran pergi dari sisiku dengan cara yang amat mengenaskan!

Kenangan itu tak pernah lepas dari ingatanku. Di suatu malam, saat mobil yang dikendarai Gibran menepi di depan sebuah restoran yang akan kami jadikan momen valentine’s date. Ketika Gibran keluar dan berjalan memutari depan mobil untuk membukakanku pintu, mendadak dari arah yang tak terduga melaju sebuah pick-up dalam kecepatan tinggi dan menyerempet tubuh Gibran hingga cowok terkasih itu terlempar beberapa meter membentur trotoar jalan. Refleks aku menjerit, dan seperti ada kekuatan yang membantuku segera keluar dari mobil untuk memburu ke trotoar. Di sana Gibran terkapar berlumuran darah. Aku memeluknya sambil berteriak meminta tolong. Seorang satpam dan beberapa pengunjung restoran ikut berlari mendekat untuk menengok, dan beberapa saat kemudian terdengar suara sirene ambulans mendatangi.

Gibran tak terselamatkan. Tentu saja. Benda tak bernyawa pun akan hancur berkeping bila diserempet dengan kekuatan maha dahsyat seperti itu. Tak henti-hentinya aku mengutuk pengendara pick-up putih yang kabur dan tak bertanggung jawab itu. Apalagi setelah kuketahui polisi ternyata tidak berhasil mengidentifikasi siapa pelaku tabrak lari itu. Dendamku semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku membalas perbuatannya yang telah merenggut nyawa Gibranku. Berhari-hari aku tenggelam dalam duka yang dalam. Sulit untuk memahami apalagi mempercayainya. Bagaimana mungkin dalam sekejap laki-laki terkasihku itu terenggut di depan mataku, justru di saat kami sedang merayakan sebuah momen spesial yang jutaan pasangan di dunia ini pun sedang merayakannya.

Yani, sahabatku, berkali-kali meyakinkanku bahwa hidup memang tak pernah bisa ditebak arahnya. Karena Sang Pemilik Hidup bisa mengambilnya sewaktu-waktu dengan cara apapun yang Ia kehendaki. Yani terus menabah-nabahkanku dan menguatkanku untuk menerima kenyataan dengan lebih rasional. Yah... Lambat-laun akhirnya aku bisa memahami dan menerima bahwa semua itu kehendak Yang Di Atas. Tapi dendamku tak pernah surut. Aku sulit melupakan kejadian itu, dan terlebih, sulit memaafkan pelakunya. Ingin rasanya aku bertemu dan menggilasnya sampai hancur, seperti ia telah menggilas hancur hati dan masa depanku bersama Gibran.

Ah, Gibranku sayang. Di saat-saat seperti ini aku selalu dipaksa kembali untuk mengenang laki-laki pujaanku itu. Candanya, senyumnya yang hangat, perhatian-perhatiannya yang selalu gentle, semua... Bahkan masih tercium wangi khas Bvlgari Acqua yang selalu meruap dari tubuhnya yang tegap.

”Chita, still working?” tiba-tiba aku dikejutkan oleh Mr Estes yang sudah berdiri di sisiku.

Yes, I have to finish a little job.”

Ok, see you tomorrow,” Mr Estes sudah hendak berbalik menjauh ketika tiba-tiba tubuhnya membalik kembali. “Happy Valentine, Chita,” senyumnya misterius. Si Bule ini cukup menarik sebetulnya, sayang demennya sama cewek-cewek high-class sekelas Tamara atau Luna Maya.

Happy Valentine, Mr Estes,” aku membalasnya dengan ramah sambil memandang senyumnya yang menghilang bersama punggungnya.

Kembali aku menekuri monitor di depanku. Sesungguhnya ’a little job’ yang aku maksud tak lain adalah ’a big thing’ yang sedang menetas di alam kenanganku. Monitor di hadapanku hanyalah sebagai pajangan. Sedikitpun tak tersentuh perhatianku.

Ahh...life goes on...aku pun segera men-shut down komputer dan merapikan mejaku. Aku tidak bisa tenggelam terus-menerus dalam kesedihan sementara waktu terus berlari di hadapanku. Forgive and forget, mungkin sebuah ungkapan ampuh yang bisa menyembuhkan. Akan kucoba.

Aku lalu mematikan AC dan lampu ruangan. Di ruangannya Audy sudah lenyap sejak pukul 5 sore tadi. Dia hanya say goodbye sebentar lantas terbang bersama teman-teman cewek lain. Semua ramai membicarakan topik yang sama: Valentine.

Melewati ruangan berikutnya, aku mengintip Ary yang memandangku misterius. Ia adalah Account Manager paling ’tak terjangkau’ di kantorku. Nggak banyak omong. Ia hanya membalas sapaanku singkat dengan senyum terpendek di dunia, lantas membuntutiku dengan matanya yang tajam. Di lobi aku bertemu Hezel. Seperti biasa, ia selalu menggodaku.

”Pasti nungguin aku ya, makanya sengaja pulang telat,” ucapnya dengan senyumnya yang charming. Sebetulnya kalau aku tidak sedang ’terikat’ sama Gibran, sudah lama kubalas sinyal agresif cowok ini. Apanya coba yang kurang pada dia. Charming, kreatif, perhatian, dan dia punya appeal tersendiri yang jarang ada pada pria lain.

”Kalau iya, kenapa?” balasku menantang.

”Jadi mau nih, pulang bareng?”

”Mau dooong, siapa juga yang nggak mau sama cowok seganteng Hezel.”

Hezel tersenyum sambil menggerakkan tangan ”yess!” di udara beberapa kali.

Aku segera menyambung, ”Tapi barengnya sampe di pintu aja ya.”

”Yaa, Chita...” lenguhnya kecewa.

”Yuk, pulang bareng,” aku mengajak cowok itu yang dengan senang hati menggandeng tanganku sampai pintu. ”Oke, bye...” aku melepaskan genggamannya dan buru-buru mendorong pintu ke luar.

”Chita...” ia masih berdiri penasaran memandangku. ”Happy Valentine...”

Aku cuma menjawabnya dengan senyum sambil mengacungkan jempol. Ia tetap tampak penasaran, seperti sudah merencanakan sesuatu untukku, tapi tak kesampaian. Aku berjalan terus menuju trotoar di depan kantor. Beberapa detik kemudian sebuah taksi berwarna biru mendekat. Aku segera menumpangnya dan meluncur di sela keramaian malam kota. Entah kenapa feel-ku kok di mana-mana seperti serba merah jambu. Ada aura hangat yang menyembul, serasa seisi kota sedang berpesta merayakan Valentine’s Nite. Lampu-lampu reklame seperti menari-nari, bahkan lampu sorot kendaraan tampak berkilau ceria turut menghiasi malam. Terdengar musik romantis, hmmm.. bahkan radio yang diputar sopir taksi pun mendendangkan lagu Valentine-nya Martina McBride.

Tapi lambat-laun, aku merasakan ada suatu keanehan. Sorot lampu dari salah satu kendaraan di belakang taksi terlalu terang dan menyilaukan. Aku menoleh. Sulit melihat jelas siapa, karena terhalang cahaya lampu yang overlighted. Aku menyuruh sopir taksi untuk pindah jalur. Benar, mobil di belakang kami ikut pindah jalur. Hatiku mulai was-was. Apakah mobil di belakang itu sengaja membuntuti atau kebetulan saja?

Akhirnya aku mengambil keputusan mendadak begitu taksi melewati sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai.

”Pak, stop di sini, Pak.”

”Nggak jadi ke Mampang?”

”Nggak, Pak. Aku mau beli sesuatu.”

Taksi akhirnya berbelok dan berhenti tepat di depan mall. Aku segera turun setelah membayar dan setengah berlari memasuki bangunan penuh cahaya itu. Sempat aku menoleh ke belakang, mobil itu sudah tak kelihatan.

Namun belum sempat aku melangkah lebih ke dalam, tepat di sebuah tikungan yang dibatasi pilar besar, mendadak sesuatu menyentuh lenganku dengan lembut membuat jantungku nyaris melompat.

”Chita?” Sharita tiba-tiba muncul seperti memotong mimpi burukku. ”Mau ke mana? Kok kamu pucat sekali kayak baru ngelihat hantu?”

”Aku... aku... eh, Ta, lagi ngapain?”

”Ya belanja dong...sekalian survey kecil-kecilan...” Sharita adalah karyawan dari divisi strategic planning di agency tempat aku bekerja. Kerjaannya memang melakukan survey konsumen. ”Kamu ngapain?”

”Oh aku juga mo belanja, Ta.”

”Yuk, kalo gitu barengan aja.”

Kami pun berjalan barengan memasuki supermarket, sambil aku diam-diam berusaha menetralisir debar jantungku. Setelah ngobrol sana-ngobrol sini sembari belanja (aku cuma membeli sebuah pembersih wajah untuk stock begitu menyadari sebenarnya aku tidak sedang butuh belanja apa-apa), Sharita mengajak aku pulang bareng dengan mobilnya. Dia akan mengantarku sampai rumah. Tapi ketika tiba di lapangan parkir (atau tepatnya taman terbuka) yang luas, mendadak Sharita seperti diingatkan sesuatu.

”Aduh, aku lupa beli pampers, Chit. Kamu tunggu di mobil aja ya, sebentar kok.”

Aku mengiyakan dengan perasaan tak enak karena sudah merepotkannya. Beberapa saat setelah Sharita menghilang, aku segera melangkah sendiri menuju mobil Sharita yang sudah aku kenal. Namun rupanya aku tak perlu bersusah-payah berjalan jauh, karena di sebuah keremangan lampu yang dinaungi pohon akasia, mendadak sebuah tangan menarikku cukup keras sehingga belum sempat kuteriakkan kata pertolongan, tangannya yang satu sudah membekap mulutku dan setengah menyeret membawaku ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.

”Sebaiknya kau tidak berteriak,” sebuah suara berat mengancamku. ”Karena aku tidak akan mengapa-apakan kamu sepanjang kamu tidak berbuat yang mencurigakan.”

Dalam bekapannya, wajahku mengangguk setuju. Ia lalu melonggarkan bekapannya dan setengah memaksa menyuruhku duduk di jok depan. Setelah menutup pintu, sosok asing itu lalu memutar dan mengambil tempat di depan setir.

”Siapa kau, dan mau kau bawa ke mana aku, apa maumu sebenarnya?” tanyaku beruntun.

Ia hanya melirikku dengan sekilas senyum menyeringai. Astaga, baru kusadari alangkah menariknya wajah ’sang tokoh jahat’ yang barusan membekap dan menculikku dengan paksa ini. Aku makin penasaran. Tapi sikapnya sangat dingin dan cuek.

Ia mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil untuk membawaku entah ke mana.

”Hei, siapa kau dan mau kau bawa ke mana aku?” ahh...sempat terbersit perasaan alangkah beruntungnya aku bertemu dan diculik penjahat terganteng sedunia, tapi pikiran rasional segera menyadarkanku.

”Kau diam saja! Ingat, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu selama kamu nggak bikin aku hilang sabar.”

”Hei, gimana mungkin aku nggak bertanya kalau aku nggak kenal kamu dan tiba-tiba...”

”Diaaaaam!!!” bagaikan guntur yang menggelegar suaranya seketika menghentikan seluruh aliran darahku. Kini aku melihat wajahnya pun tegang.

Gugup, aku membuang pandang ke arah jalan dan membiarkannya menyetir tanpa suara. Tapi aku tahu, di balik dadaku, jantung ini mengalahkan debar jantung sprinter tercepat di dunia. Lama terdiam, mataku akhirnya mencuri lirik ke wajahnya. Hmmm, kalau saja dia bukan orang jahat, aku yakin banyak wanita yang bertekuk lutut oleh pesonanya. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan wajah Brad Pitt saat lupa cukuran dengan wajah pria di sampingku ini. Sungguh mempesona dan macho! Tulang rahangnya membentuk garis aristokrat yang kental. Hidungnya mancung kukuh, alisnya lebat dan matanya tajam menghunjam ke depan. Aku memperhatikan otot lengan dan dadanya yang keras. Hei, apakah ilusi pangeran Hollywood benar-benar hadir di depan mata?

Tiba-tiba HP-ku berdering. Aku melirik ke display. Sharita calling.. Aku meliriknya sebentar, dan seperti tahu maksudku, ia segera mengangguk dengan syarat, ”kau tahu apa yang harus kau katakan, jangan macam-macam!”

Aku lalu menjawab panggilan Sharita dan berbohong dengan mengucapkan maaf karena harus terburu-buru pulang. Sharita sempat menanyakan apakah aku baik-baik saja (mungkin ia meraba sebuah getaran tak wajar dalam nada suaraku?), dan aku menjawab I’m fine. Ia lalu say goodbye and take care. Aku kembali melirik si pria asing yang tetap cool mengendarai mobil. Tiba di sebuah restoran, ia melambatkan mobil untuk mencari parkiran. Aku terkejut. Ini kan...?

”Aku ingin mentraktirmu makan,” ucapnya datar seperti dapat membaca pikiranku.

”Tapi... kenapa di sini?”

”Kenapa? Nggak suka? Aku sudah memesan meja...”

”Kau... siapa kau sebenarnya?” tanyaku akhirnya, nggak tahan.

Ia tersenyum sedikit lebar. Masya Allah, baru lebar sedikit begitu saja senyumnya sudah hampir meruntuhkan langit hatiku. ”Anggaplah aku kencan Valentine misteriusmu,” sahutnya enteng. Ia lalu memutar dan membukakanku pintu mobil. Dengan lembut kemudian diraihnya tanganku dan menuntunku ke dalam. Anehnya, aku menurut saja. Antara rasa takjub, penasaran, takut, dan terbius pesonanya berbaur jadi satu.

Benar saja. Di dalam ia sudah menyiapkan meja di ruangan private yang ditata sangat romantis. Aduh, kalau saja ini bukan perangkap, aku sudah meluapkan perasaanku sedemikian rupa. Wanita mana yang takkan tersanjung dijamu seistimewa ini. Tapi begitulah. Ini ibarat istana di celah lembah sunyi dan terpencil. Kami menikmati santapan tanpa suara. Bahkan ketika ia menghampiriku untuk membantu menuangkan minuman dessert sehingga membuatku dapat mencium aroma maskulin tubuhnya, ia hanya membuatku terpaku tak berkutik di tempat.

Lantas beberapa menit kemudian kami pun kembali ke mobil. Aku merasa agak risih ketika tangannya menggenggam mesra tanganku, apalagi beberapa waitress yang memandangku seperti tak percaya cowok seganteng pria ini mau berjalan bersisian denganku yang... astaga, baru aku sadari betapa lusuhnya aku dengan pakaian kerja. Tiba-tiba aku merasa malu sekali. Tapi apa mau dikata. Aku hanya menuruti saja maunya.

Di dalam mobil, tiba-tiba aku tercenung memandang trotoar di depan. Ia (lagi-lagi) seperti dapat membaca pikiranku.

”Maafkan aku, aku nggak bermaksud...” mendadak suaranya terdengar lembut.

Aku meliriknya dan mengangkat tangan. ”It’s ok. Ini nggak ada hubungannya dengan kamu.”

Are you sure?”

Yes, absolutely! Aku punya kenangan pahit di sini, ngngh...pribadi...”

”Gimana kalo ada hubungannya denganku?”

”Maksud kamu?” kini aku memandangnya tak mengerti.

”Chita, maafkan aku. Akulah yang mengirim buket bunga itu. Aku pula yang membuntuti taksimu. Aku...”

”Kau tau namaku??”

Ia mengangguk. ”Aku sepupunya Yani.”

Kini aku makin tercengang. ”Kenapa kau lakukan semua itu?”

”Aku... aku cuma ingin minta maaf.”

What for?”

”Akulah yang menyerempet pacarmu dua tahun lalu...”

Tiba-tiba saja aku merasa seperti mendengar kabar terburuk sepanjang segala abad. Lama aku ternganga sampai tahu-tahu tanganku sudah bergerak memukul dadanya. ”Kamu!” seruku pedih. ”Kamu telah membunuh orang yang paling aku cintai, kamu telah merenggut masa depanku, kamu telah mengambil semua kebahagiaanku, kamu...” suaraku tersekat di tenggorokan. Terlalu banyak yang ingin aku tumpahkan, yang sudah aku pendam bermusim-musim lamanya, dalam kesedihan, dalam dendam, dalam keputusasaan...dan kini aku menemukan muara yang tepat. Ingin sekali aku membunuh makhluk terkutuk di hadapanku ini, tapi yang aku lakukan hanya menangis. Aku terisak tanpa daya.

”Maafkan aku, Chita. Aku merasa berdosa sekali. Apalagi begitu tahu cerita Yani tentangmu, aku merasa tak tahan menanggung rasa bersalah terus-menerus. Akhirnya sebulan lalu aku putuskan cerita ke Yani dan dia marah besar. Sampai aku katakan ingin meminta maaf langsung kepadamu. Tapi aku punya rencana lain. Aku ingin menuntaskan kebahagian yang tak sempat kau nikmati saat malam valentine itu. Aku ingin memberi kamu surprise, yang aku harap bisa menyenangkan kamu. Aku....”

”Aku nggak mengharapkan semua itu!!” tiba-tiba saja suaraku menggelegar. ”Aku ingin kamu segera menyerahkan diri ke polisi!”

”Aku akan lakukan itu. Tapi aku harus mendapatkan dulu pemberian maafmu,” sekonyong-konyong tangannya meraih kepalaku dan memelukku erat-erat membuatku susah bernapas. Aku tenggelam dalam sesak aroma maskulin dadanya.

”Tidak,” bisikku berkeras. ”Aku nggak akan memaafkanmu, sampai kau mengembalikan kebahagiaan yang sudah terenggut bersama orang yang aku cintai.”

”Chita, please,” ucapnya memohon. ”Aku rela melakukan apa saja agar kau mau memaafkanku.”

”Nggak! Kau harus dihukum mati!”

”Kalau itu bisa membuatmu memaafkanku, aku mau...”

”Kamu? Kamu mau dihukum mati?”

Ia mengangguk. Sedikitpun tak ada keraguan di wajahnya. ”Apapun, asal kau mau memaafkanku.”

”Aku...,” keraguan seketika meruak dari sela hatiku. ”Oke... aku memaafkanmu, tapi dengan satu syarat...”

Ia menjauhkan wajahku sebentar. ”Apa?”

”Malam ini juga kau harus serahkan diri ke polisi.”

Ia kembali memelukku erat. ”Oh, terimakasih, Chita. Sekarang bebanku mulai berkurang. Aku akan segera menyerahkan diri...”

”Oke, oke, tapi lepaskan aku.”

”Oh, maaf,” ia segera mengembalikan wajahku ke letak semula dengan hati-hati sekali. He’s so sweet. ”Aku... aku juga minta maaf telah membuatmu takut tadi...”

Aku mengangkat dagu. ”Asal kau segera mengantarkan aku pulang, maafmu kuterima.”

”Oke, bos!” Ia segera menghidupkan mesin.

Dalam perjalanan kami lebih banyak terdiam. Tapi aku tahu, matanya sesekali melirikku (karena aku pun diam-diam meliriknya). Entahlah, perasaanku tiba-tiba gelisah. Aku tahu beberapa menit lagi ia akan segera ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Tapi sikapnya yang penuh perhatian dan pengakuannya yang tulus dan berani itu seperti menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti dalam diriku.

Ia mengantarku sampai di depan pintu rumah. Dan ketika punggungnya menjauh, aku merasakan sepotong hatiku pun gugur dan lepas.

”Aku belum tahu namamu,” ucapku sedikit panik seperti akan kehilangan sesuatu.

Ia membalik dan tersenyum, senyum yang pasti membuat banyak wanita bertekuk lutut. ”Panggil aku Reza.” Dan tubuhnya pun menghilang dalam malam.

Kamis, Januari 10, 2008

Kemerdekaan Hati, CHIC

Kemerdekaan Hati
Cerpen Sukma Wie



Aku sudah capek hidup dengan Mas Danang. Ia tak pernah mau mengerti perasaanku, kesulitanku, apalagi posisiku sebagai istri yang setiap hari mengurusi rumah dan seisinya.

Ia enak. Pulang kerja, semua sudah tersedia. Makanan hangat, handuk empuk, dan tempat tidur yang nyaman. Semua kusiapkan dengan penuh cinta.

Aku selalu berdebar menunggunya setiap petang tiba. Seolah-olah sedang menunggu diapeli kekasih di malam minggu. Dan kenyataannya memang begitulah yang kurasakan. Di ujung setiap hari kerja aku selalu menunggu Mas Danang mengapeliku.

Selalu kubayangkan wajahnya yang tampan walau terlihat agak lelah. Rambutnya yang di waktu pagi tersisir rapi, pulang sore tampak sedikit acak, membuatnya kelihatan begitu seksi dan menggoda. Dasinya dibiarkan longgar, dan bau tubuhnya yang masih menyisakan wangi parfum pagi –pada sore hari tercium lebih menggairahkan karena sudah tercampur sedikit peluh, membuatku kangen dan bersemangat setiap kali menyambut Mas Danang pulang. Apalagi kalau pulang-pulang mata dan tangannya yang nakal merayuku, sungguh segala kejenuhanku menunggu seharian di rumah jadi lepas terbang. Itu pula alasan mengapa aku pasrah dan terima saja ketika Mas Danang melarangku kerja untuk sementara waktu.

“Aku takut begitu aku pulang aku tidak menemukan wajah istriku yang cantik dan selalu membuatku merasa segar,” kata Mas Danang genit, memberi alasan.

“Memangnya aku bonekamu?”

“Apa salahnya kalau kuanggap begitu? Kau adalah bonekaku yang cantik dan seksi. Aku bersyukur punya boneka seperti kamu,” lalu tawa Mas Danang membuncah renyah menggelitiki kupingku.

Aku langsung bergelung manja dalam pelukannya. Dan aku merasa tidak ingin keluar selama-lamanya. Karena aku tahu, dalam pelukan Mas Danang aku mendapatkan seluruh kebutuhan emosiku terpenuhi. Rasa aman, rasa cinta, rasa dimiliki, rasa setia, rasa bahagia…

***

Tapi sekarang aku benar-benar kesal sama Mas Danang. Entah mengapa, pada suatu sore tiba-tiba ia merasa banyak yang kurang. Masakan yang kurang garam, aku yang katanya kurang wangi, tempat tidur yang katanya kurang rapi, kamar mandi yang katanya kurang bersih, sampai hari-hari berikutnya menyusul: kurang rapi lipatan kemejanya, aku yang katanya kurang dandan, kurang cantik, dan terakhir yang membuatku terhenyak: rumah kurang ramai!

Inilah yang kutakutkan. Sudah lima tahun kami menikah, tapi belum sekejap pun kami diizinkan Tuhan untuk mencicipi cericit tangis sesosok bayi. Padahal kami sudah berusaha semampu kami. Mulai dari periksa medis yang menunjukkan kami sama-sama sehat dan normal, hingga mencoba pengobatan alternatif. Tapi hasilnya selalu nihil. Kami memang nyaris putus asa, tapi kami selalu menyiasatinya dengan bersikap romantis setiap hari di rumah. Itu setidaknya bisa mengenyahkan pikiran –terutama Mas Danang dari hasrat tak sabar untuk segera memiliki anak.

Dan sekarang Mas Danang ingin kembali mengangkatnya ke permukaan?

Terus terang, aku tidak bisa tenteram. Kalau sekadar kurang sempurna keadaan di dalam rumah atau penampilanku, aku masih bisa mencuekkannya. Tapi kalau kurang bahagia karena kurang ramai disebabkan tak ada celoteh riang sang buah hati, aku sungguh tidak bisa mengenyahkannya dari benakku. Aku begitu kuatir, ini bisa menjadi penyebab cinta Mas Danang menyusut kepadaku. Biar bagaimanapun, kenyataan dan sejarah membuktikan bahwa wanitalah yang senantiasa menjadi kambing hitam masalah kesulitan mendapat anak, atau paling tidak, wanitalah yang merasa paling menderita dan terbebani rasa was-was. Dan inilah yang menimpaku kini.

Makin lama Mas Danang makin menjadi-jadi. Dan makin lama aku makin tidak tahan. Makin lama aku makin capek. Pertengkaran pun tak terelakkan. Sekuat daya aku berusaha menahan agar airmataku tidak keluar agar aku tidak tampak lemah di mata Mas Danang, tapi selalu saja gagal. Hingga suatu ketika, aku dihempaskan oleh suatu kenyataan pahit yang membuat duniaku seakan runtuh berkeping-keping.

Secara tak sengaja aku membaca SMS yang masuk di handphone Mas Danang yang hari itu entah mengapa terlupa di atas wastafel kamar mandi. From Keyren. Siapa Keyren?

Aku mengernyitkan kening mengingat nama-nama teman sekantor Mas Danang yang pernah ia sebutkan, tapi rasanya aku tidak mengenalnya. Pesan di display berbunyi: “Ntar mlm di zanzi. Jam 7. Ok?

Buru-buru aku meletakkan kembali di tempatnya ketika kudengar suara mobil masuk garasi. Mas Danang pasti baru mengingatnya.

Berlagak tidak tahu apa-apa, aku mengasyikkan diri di dapur dengan setumpuk bumbu dan bahan. Tanpa sapa tanpa suara, bayangan mas danang tampak melesat ke toilet lalu balik lagi ke luar. Dan sesaat kemudian terdengar suara mobil meraung pergi.

Aku sibuk merencanakan sesuatu. Pukul 6.45 malam aku sudah duduk anteng di salah satu sudut tersembunyi di Zanzibar. Benar saja, beberapa menit kemudian kulihat bayangan Mas Danang bersama seorang gadis manis yang bergelayut manja di lengannya.

Mereka mengambil duduk di sudut yang jauh. Aku tak perlu terlalu lama melihat adegan mesra mereka, karena dadaku sudah hampir terbakar habis. Cepat-cepat aku membayar bill-nya dan menyelinap ke luar tanpa mencolok. Keputusanku sudah bulat: cerai.

***

“Cerai?”

“Ya, aku sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan Mas Danang. Kalau aku tetap bertahan, bisa-bisa aku bunuh diri!”

“Tapi pikirkanlah dulu.”

“Tidak. Aku sudah tak tahan.”

“Bagaimana kau tahu itu pacarnya? Bisa saja itu salah seorang kliennya.”

“Dengan gaya menggayut manja dan peluk-pelukan?”

“Masa iya sih Mas Danang gitu?”

“Kamu nggak liat sendiri sih. Kalo liat pasti kebakar.”

“Tapi ada baiknya kamu konfirmasi dulu, Ir.”

“Cukup. Bagiku sudah cukup alasan untuk minta cerai. Sikap anehnya yang tidak menghargaiku belakangan ini, jarak yang sudah kami buat sekian lama, untuk apa lagi sih dipertahankan? Aku bahkan ingin cepat-cepat mengakhiri.”

“Ir,” Evelyn, kakakku yang tertua itu tiba-tiba mengubah suaranya lebih serius. “Coba renungkan, apa benar kamu sudah tidak mencintai suamimu?”

Aku terdiam. Sekelebat terbayang masa-masa manis di awal pernikahan kami. Bahkan lima tahun sebelum enam bulan terakhir yang penuh horor, kemanisan itu masih kami kecap. Mas Danang yang nakal tapi lembut, tatapan dan senyumnya yang selalu menggoda, ucapan-ucapannya yang menggelitik, wangi khas tubuhnya yang membuatku kangen… sekelebat! Tapi sekelebat kemudian adalah Mas Danang yang kejam: dengan segala complain-nya, dengan segala sikap dinginnya, dengan segala kata-kata sinisnya, dengan… selingkuhnya! Tuhan, haruskah aku bertahan dengan keadaan semengerikan itu?

“Tidak,” kataku akhirnya. “Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya lagi.”

“Tapi cinta tidak perlu alasan, Irna.”

“Tapi ikatan perkawinan selalu butuh alasan. Dan kalau alasan untuk bersama itu sudah lenyap, untuk apa lagi dipertahankan?”

Evelyn akhirnya cuma menarik napas dan mengangkat bahu. “Mau aku atau kamu sendiri yang ngomong sama Bapak dan Ibu?”

“Biar aku sendiri.”

“Mereka pasti sedih.”

***

Kesedihan memang memayungi ruang pengadilan cerai siang itu. Tapi hanya beberapa saat. Karena beberapa saat kemudian, setelah hakim memutuskan, kelegaan luar biasa yang kurasakan.

Aku melirik Mas Danang. Entah pura-pura atau sungguhan, ia tampak tercenung lama dan seperti orang bingung. Waktu pertama kali kuutarakan maksudku minta cerai dengan segala alasan yang logis, ia memang berusaha membela diri. Memintaku mencoba mengerti dia (hmmm…emotional blackmail), tapi aku sudah tidak mau mendengar. Berapa lama coba aku telah bersabar diri untuk memahami dia? Kalau dia bersikap lemah terus dan seolah tak bertanggung jawab begitu, lama-lama kekaguman yang pernah singgah di hatiku dulu bisa terhapus habis.

Aku harus punya sikap. Aku harus berani menunjukkan bahwa aku tidak bisa terus-menerus dijajah oleh laki-laki itu. Aku bukan wanita yang rela hidupnya terbelenggu dan hanya berangan-angan tentang suatu kebebasan. Cukup sudah penderitaanku. Kini aku ingin merasakan kemerdekaan hati yang sebenarnya.

Di ujung sana, aku tahu, seseorang sudah menunggunya untuk menghidangkan kebahagiaan yang diharapkannya. Di ujung lain, aku berharap kebahagiaan baru sudah menungguku pula. Semoga. ****

Joylicious, CHIC

Joylicious
Cerpen: Sukma Wie


Aku bertemu Joy pertama kali duapuluh bulan yang lalu. Waktu itu aku sedang iseng main ke Pasaraya Grande dan nyantai sebentar di sebuah kafe di lantai tiga. Seperti biasa, aku tidak pernah melewatkan pemandangan yang ‘indah-indah’ dari balik Donna Karan-ku. Aku duduk sendiri sambil sesekali menyeruput caffe latte yang tersaji di depanku. Begitu banyak lajang-lajang (atau tampaknya lajang?) yang berkeliaran memamerkan gaya dan bodinya di depan mata. Tapi lebih banyak lagi yang lalu-lalang dengan pasangannya masing-masing yang bergayut manja di lengannya. Mungkin istrinya, kekasihnya, atau mungkin pula selingkuhannya. Aku tidak begitu tertarik untuk membahasnya lebih jauh.

Yang lebih mengganggu perhatianku, ketika tiba-tiba aku menyadari sedang diperhatikan dari jarak yang tak begitu jauh. Aku menoleh dan, olala… sepasang mata hitam nan tajam sedang menatapku kemudian tersenyum begitu tahu aku meliriknya. Agak kikuk, aku coba membalas senyumnya. Dan tanpa kusangka tiba-tiba ia sudah bergerak menuju ke arahku.

“Sendiri, Mbak?” tanyanya langsung, nyaris menyerupai bisikan.

“Oh… ya, sendiri,” jawabku sekenanya.

“Boleh aku duduk di sini?”

“Oh, silakan.”

Ia lalu menarik kursi dan duduk tepat di hadapanku. Sesaat kemudian seorang waiter menghampiri dan ia memesan sesuatu.

“Kamu…,” aku mengedarkan lirikan ke mejanya semula, “… sendiri juga?”

“Tadi bareng teman-teman… ng… fitness di atas, tapi mereka sudah pergi. Sebagian dijemput pacarnya.”

“Kamu sendiri… belum punya pacar?”

“Ah… Mbak bisa aja. Apa ada potongan?”

Aku tersenyum. Kuperhatikan lebih seksama wajahnya. Gile ni anak, batinku. Cakep banget! Potongan kayak begini seharusnya punya seribu pacar. Lihatlah matanya yang hitam dan terang. Alisnya yang rimbun, seperti payung teduh yang menaungi ketajaman sorot matanya itu. Bibirnya… duh, padat berisi dan segar pula. Raut rahangnya begitu kentara, membuat dia tampak bagai dewa-dewa Hollywood yang macho dan menggairahkan. Hidungnya yang tinggi dan mancung, otot yang bersembunyi di balik kausnya yang sedikit basah oleh keringat itu, tiba-tiba saja membuatku….

“Teman-teman biasa manggil aku Joy,” tiba-tiba tangannya sudah terjulur di depan wajahku.

Aku segera menyambutnya dengan lembut, “Mirna.”

“Waaw… nama yang cantik, secantik orangnya!” serunya spontan.

Aku agak tersipu dipuji begitu. Padahal tentu saja dia bukan lelaki pertama yang memujiku. Ah, jadi ingat Mas Rige. Laki-laki itu pun suka memuji dan merayuku dengan romantis sebelum kami melakukannya. Tapi itu dulu, dulu sekali di masa-masa awal perkawinan kami. Kini… ah! Kutepis jauh-jauh bayangan lelaki itu dari benakku.

“Ng… Ke sini lagi mo belanja ya?” tanyanya hati-hati.

“Oh nggak. Iseng aja, daripada sepi di rumah.” Aku menaksir usianya mungkin duapuluhan, melihat ototnya yang tampak padat berisi dan lengannya yang agak berbulu. Anak kuliahan mungkin, atau karyawan yang baru kerja.

“Kalo gitu, boleh aku temani?” sinar keramahan belum juga sirna dari wajahnya. Terus berpijar, membuatnya tampak begitu menarik.

“Oh, boleh,” sahutku segera. “Tapi… apa kamu tidak… kuliah atau kerja?”

Ia tersenyum. “Aku masih sekolah. Dan aku masuknya pagi. Sekarang ‘kan udah jam lima.”

Ha? Aku nyaris tak percaya dengan pendengaranku. Masih sekolah? Segede dan sematang ini? Apa nggak salah? Tapi aku berusaha menetralisir gemuruh yang mengguncang dadaku.

“Wah… kalau begitu kebetulan dong. Aku lagi butuh temen, dan kamu lagi bebas.”

“Ini namanya jodoh!” ia tertawa memamerkan giginya yang rapi dan kokoh.

Aku ikut tertawa. Dan beberapa detik kemudian kami sudah turun lalu meluncur pelan dalam mobil yang kukendarai.

“Enaknya ngapain ya?” tanyaku begitu melewati Sudirman yang padat.

“Aku sih terserah, gimana asyiknya aja.”

“Oh ya, gimana kalo kita ke diskotek?”

“Boleh.”

Tapi tiba-tiba aku membayangkan banyaknya gadis-gadis cantik di sana, bisa-bisa… “Ah, nggak. Kurang asyik! Gimana kalo bilyar?”

“Boleh juga tuh.”

Tapi di sana juga nggak sedikit cewek-cewek genit. “Ah, kurang asyik! Kalo bowling? Ah, nggak… aduh gimana ya? Ada usul nggak?”

“Kenapa nggak candle light dinner aja di rumah. Kita mesen makanan, dan….” Kami saling melirik. Aduh, matanya! Badanku rasanya langsung meleleh. Tahu-tahu tanpa kuduga tangannya yang kukuh dan muda itu sudah menangkap dan meremas tangan kiriku. Aku semakin meleleh.

“Aku… kupikir… itu ide yang bagus,” ucapku terbata sambil menelan ludah.

Mobil pun kubelokkan ke arah selatan, menuju puri cintaku yang sehari-harinya selalu sunyi. Dan malam itu, kami benar-benar melakukannya. Ia yang masih muda dan kuat, ternyata begitu lihai membangkitkan gairahku. He’s so delicious! Kini aku hidup kembali.

***

“Gila lu, Mir!” Bertha, sahabatku di kantor yang sehari-hari menjadi bawahanku memekik tak percaya begitu kuceritakan padanya tentang Joy. “Anak ingusan gitu lu embat juga?”

“Dianya yang mancing, dianya yang mau, dianya yang inisiatif, aku sih pasrah aja!”

“Itu sih namanya pasrah membawa nikmat. Pasti lu godain dia!”

“Enak aja! Dia yang godain, dia juga yang membuatku melayang!”

Tampak wajah Bertha memelas kepingin ketika kusebutkan kata ‘melayang’. Aku tahu dia pun setali tiga uang denganku. Sejak ia menikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi kakeknya, ia selalu punya hasrat yang tak terkendali setiap kali melihat lajang-lajang muda yang masih segar. Katanya, suaminya tak pernah memuaskannya. Selalu berhenti sebelum selesai. Tenaganya pun di bawah standar, bahkan jauuuuh di bawah anak-anak muda yang kerap dikencaninya. Iya-lah… namanya juga orang tua! Tapi itulah nasibnya. Ia harus menerima lamaran laki-laki itu untuk menebus utang orangtuanya yang menumpuk.

Awal-awalnya ia sempat stres, sama sepertiku ketika Mas Rige pertama kali berlayar lama dan jauh. Tapi lama-kelamaan jadi biasa, bahkan menyenangkan. Tentu saja karena kami sudah menemukan solusinya. Ya, anak-anak muda itu! Mereka kalau tidak dibayar, ya diseneng-senengin aja hidupnya! Pasti mau melakukan apa saja yang diminta. Bagi aku dan Bertha, soal materi no problem. Suami kami lebih dari cukup melimpahi kami dengan tumpukan harta. Tapi tidak dengan tumpukan kebahagiaan. Karena itu kebahagiaan harus kami kejar sendiri. Untunglah aku masih bisa menyibukkan diri dengan membuka advertising agency dari modal sendiri. Jadi masih ada kegiatan lain yang bermanfaat, tapi Bertha?

Karena kasihan, aku pun memanggilnya untuk bergabung denganku, bantu-bantu menangani klien yang semakin lama semakin membanjir. Tentu saja ia senang. Karena tak jarang pula ia menemukan klien-klien muda dan segar yang sekalian bisa diajak kencan. Tapi untuk anak sekolahan yang menurutnya ‘masih ingusan’ (aku ragu apakah Joy pantas masuk kategori itu karena ia begitu matang dan berpengalaman), baru kali inilah aku alami. Dan bagi Bertha itu sesuatu yang amazing. Aku tahu sebetulnya diam-diam dia iri mendengar ceritaku tentang kehebatan Joy, makanya ia selalu memekik tak percaya lalu nelangsa.

Aku tersenyum geli dan menghalau pandangan nelangsanya. “Udah ah, kalau kamu mau, aku bisa kenalin. Moga-moga dia pun nggak nolak.”

“Aku lagi mikir, kenapa juga anak semuda itu mau-maunya jadi…”

“Eit, belom tentu! Bisa aja karena libidonya emang gede dari sononya, jadi ya begitu kenal sama orang-orang seperti kita, gayung bersambut! Buktinya dia nggak minta macam-macam, nggak mau dibayar, nggak mau dikasih apa-apa. Just have fun!”

Saat itu kami ngerumpi di sebuah pojok kafe hotel yang agak sepi, jadi bebas dari kupingan anak-anak kantor. Kami bebas berhaha-hihi, kami bebas ngomong yang ‘serem-serem’ untuk mengekspresikan pengalaman seksual kami, kami bebas larak-lirik cowok-cowok keren yang lewat satu-satu dan membayangkan apa yang terjadi selanjutnya bila kami berkenalan dengan mereka siang itu.

Sebetulnya di kantor pun banyak yang masuk kriteria, terutama di divisi kreatif. Di sana kebanyakan sarang anak muda macho yang penuh semangat dengan ide-ide liarnya. Tak heran kalau lembur bareng, di kepalaku suka timbul pikiran yang macem-macem. Tapi aku dan Bertha punya aturan main yang ketat: tidak boleh mengencani karyawan di kantor! Itulah sebabnya kami lebih banyak have fun di luaran. Gosip sih pasti ada. Tapi kami sudah tak mau ambil pusing, sampai gosip itu lenyap sendiri. Yah… beginilah nasib istri-istri kesepian yang haus kasih sayang.

“Eh… lu kan ada meeting sama Pak Lukas siang ini. Siap-siap gih!” ucap Bertha tiba-tiba menyentakku.

“Oh iya, hampir lupa.” Kami pun berdiri lalu berbarengan meninggalkan tempat itu.

***

“Aku mencintai Mbak,” ucap Joy memelas. Saat itu ia bergelung manja dalam pelukanku setelah kami menuntaskan permainan pertama.

Aku mengecup rambutnya yang wangi dan berusaha mendekap bahunya yang lebar dan kekar. “Don’t ever talk about that,” ucapku lembut, nyaris menyerupai bisikan di telinganya.

“Kenapa?”

“Aku sudah punya suami, dan kamu…”

“Tapi suami Mbak nggak pernah membahagiakan Mbak. Buktinya dia cuma muncul sekali setahun.”

“Dia berlayar, Sayang.”

“Itu namanya nggak bertanggung jawab.”

Aku ingin tertawa geli mendengar omelan polosnya.

“Trus, kamu mau bertanggung jawab?” tanyaku.

Ia terdiam. Aku tahu ia bingung menjawabnya. Harus kuakui ucapan Bertha kalau dalam hal satu ini. Ia memang kadang bersikap selayaknya usianya. Polos dan manja.

“Sudahlah, masa depan kamu masih panjang. Suatu ketika kamu akan menemukan gadis yang sepantaran denganmu.”

“Aku nggak suka cewek seperti itu. Mereka kolokan dan egois.”

“Tapi lama-lama kan juga pasti dewasa.”

“Kapan? Aku ingin kawin sekarang.”

“Hei,” aku menatap matanya dalam-dalam. Mata yang membuatku lupa dengan usianya yang jauh di bawahku. Mata itu… begitu jantan dan menggoda. “Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?”

Cowok itu mengangguk.

“Dari mana kamu menghidupi keluargamu? Kamu kan masih sekolah.”

“Aku bisa merampok ayahku!”

Aku tertawa geli.

“Serius,” katanya dengan gaya sok dewasanya. Kalau sudah begitu, gairahku timbul kembali. Aku memeluk dan menciumnya.

“Sudah,” kataku kemudian. “Lebih baik kita nikmati aja malam ini. Nggak usah mikirin yang macem-macem. Oke?” aku mengerling manja dan menggoda.

Aku melihat rupanya usahaku tidak sia-sia. Gairahnya bangkit kembali. Dan kami menuntaskan permainan kedua yang pasti akan membuat Bertha terkaing-kaing ngilu digigit rasa cemburu!

***

Dan hari ini aku kembali bertemu Joy. Setelah berbulan-bulan ia menghilang tak berjejak dan tanpa sebab, kini ia hadir kembali di depan mata. Aku sudah hampir memeluk dan menciumnya karena rindu yang tak tertahankan kalau tak segera sadar bahwa kami tidak cuma berdua di kafe itu.

“Siapa?” tanyaku agak kurang senang.

“Calon istriku.” Ia lalu memperkenalkan gadis yang bersikap canggung di sampingnya. Namanya Mita. Heh, mirip-mirip namaku?

“Semuda itu?” tanyaku lagi nyaris berbisik.

“Lho, Mbak sendiri kan yang nyaranin supaya aku mencari calon istri yang sepantaran?”

“E…” aku tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba saja aku merasa menyesal telah memberi saran sialan itu. “Tapi… kalian bener-bener serius mau nikah?”

“Iya.”

“Sekolah kalian?”

“Kami ‘kan udah tamat. Ngapain lagi?”

Pendek benar pikirannya! “E… maksudku, bagaimana kalian membangun rumah tangga…”

“Soal materi urusan kedua, Mbak. Yang penting kami bahagia. Iya kan, Mit?”

Gadis itu mengangguk, masih canggung. Diam-diam suatu perasaan aneh menjalari batinku. Hegh, apakah aku cemburu? Oh, no, aku nggak mungkin cemburu pada anak yang masih bau kencur ini. Tapi… bukankah itu berarti aku akan kehilangan Pendekar Perkasa-ku? Yang membuatku susah mencari tandingannya dalam sepuluh bulan terakhir sejak kehilangannya? Oh, no, ini benar-benar di luar dugaanku. Tiba-tiba saja aku merasa pening. Membayangkan aku akan kehilangan gairah di hari-hari berikutnya, benar-benar memukul ulu hatiku.

“Oke deh, kalo gitu, selamat ya?” ucapku perih sambil mengulurkan tangan.

Ia menyambut dan menggenggamnya kuat-kuat. Aku hampir menangis sedih. Apalagi setelah itu kemudian kulihat tubuhnya dan sosok gadis itu beranjak pergi menjauh. Semakin menjauh.

Kini aku benar-benar menangis.

***

Begitu kuceritakan tentang pertemuan terakhirku dengan Joy, tak henti-hentinya Bertha menarik tissue untuk menyapu pipinya yang basah.

“Lho, kok kamu ikut-ikutan nangis sih?” tanyaku heran, tiba-tiba sadar dengan sikapnya yang berlebihan. Saat itu kami berada di ruang kerjaku yang sengaja kukunci dari dalam.

“Sedih.”

“Iya, tapi kenapa kok kamu lebih sedih dari aku? Padahal yang punya cerita ‘kan aku.”

“Sedih… belum sempat ikut ngerasain…. Huk-huk…”

Diam-diam aku tersenyum geli. Akhirnya keluar juga harapannya yang terpendam. Kasihan Bertha. Selama ini ia merasa iri dengan reputasiku yang selalu beruntung. Untung kamu dapat daun muda banget, katanya. Untung kamu nggak diporotin. Untung kamu dapat --yang biar muda tapi kuat dan nggak canggung, malah selalu memuaskan. Untung… untung kamu nggak seperti aku!

Tapi ah… seuntung-untungnya aku, akhirnya ditinggalkan juga. Akhirnya dibiarkan sepi juga. Akhirnya dibiarkan kembali merana. Sampai aku bisa menemukan yang lain lagi. Tapi, apakah itu gampang? Aku mungkin bisa tinggal angkat telepon mengorder dari pengantara-pengantara terselubung, tapi apa bisa aku menemukan yang sehebat Joy? Ah, lama-lama aku merasa tak bergairah lagi kalau selalu mengingat anak itu. Pengalaman dengannya benar-benar membuatku susah melupakannya.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

“Ya?” sahutku kencang-kencang.

“Sudah ditunggu meeting, Bu!” teriak Santi, sekretarisku dari balik pintu.

“Ya, sebentar lagi, San!” lalu buru-buru aku berkata kepada Bertha. “Cuci muka sana gih! Ntar diliput infotainment lagi! Aku tunggu di ruang meeting ya!” lalu aku bergegas ke pintu. Mungkin besok tak ada lagi order-orderan. Tak ada lagi daun muda. Tak ada lagi selingkuh-selingkuhan. Joy is the best and the last boy!

Tapi apa mungkin?***