Selasa, Oktober 30, 2007

My Cute Enemy, NOOR, March 2006 published with title "Tessa"

My Cute Enemy
Cerpen: Sukma Wie


Aku benci sekali setiap kali Tessa datang. Anak itu selalu mencuri perhatian seisi rumah. Bahkan Mas Rige, suamiku, ikut-ikutan mencurahkan perhatian yang berlebihan, hingga aku merasa seperti mulai diabaikan.

Kupikir memang itulah pangkalnya. Aku iri. Aku cemburu pada anak yang berpipi gembul dan selalu berkuncir itu. Apalagi sejak keseringdatangannya, wajah Mas Rige selalu bersinar dan bersiul-siul seperti anak abege sedang jatuh cinta. Atau barangkali Mas Rige memang sudah jatuh cinta pada anak itu?

“Ayo, Tessa! Main kuda-kudaan sama Oom…” teriak Mas Rige begitu melihat sosok berkuncir itu nongol di mulut pintu diantar pengasuhnya.

Aku langsung menyambutnya dengan lirikan kurang senang. Huh. Mulai lagi deh. Gayanya yang sok imut itu benar-benar menyebalkan. Tapi semua yang melihatnya seperti tersihir untuk mendekatinya. Bahkan Bi Rah, pembantuku dan Arni adikku yang hari itu kebetulan bebas kuliah, ikut-ikutan menyongsongnya dengan gembira. Cuma aku yang pura-pura serius menonton sebuah acara infotainment di layar tv.

“Aduuuh… berisik amat sih! Nggak denger nih apa yang diomongin presenter, aduuuh… bisa diam dikit nggak sih?” kataku menggerutu karena merasa terganggu suara tawa senang anak itu yang diselingi godaan-godaan Mas Rige yang tak henti-henti.

“Sekarang Oom jadi macannya… ngaooommm….,” suara Mas Rige lagi sambil mengejar anak itu dengan gaya bersimpuh-simpuh seperti macan beneran.

Anak itu berlari-lari kegirangan sambil berteriak, “Tatuuut….!!!” (maksudnya ‘takut’ barangkali). Huh, sok imut!

Aku makin gemas. “Aduh, Mas! Bisa diam gak siiih!”

“Apaan kok teriak-teriak kayak nenek sihir aja!” sahut Mas Rige tak kalah ‘terganggu’.

“Nggak liat apa aku lagi asyik nonton? Eh malah bikin gaduh!”

“Bawa aja tivinya ke dalam kenapa sih?”

“Mas!” aku mulai naik pitam melihat tingkah Mas Rige yang seenaknya. Biasanya dia tidak begitu. Pasti gara-gara si setan kecil satu itu. Dia telah mengubah Mas Rigeku...

“Sori, tapi lagi tanggung nih! Ayo Tecaaa… sekarang Oom jadi…”

Aku segera mematikan tivi dan menghentakkan kaki beranjak dari tempat itu. Arni dan Bi Rah yang melihat gelagat kurang sedap buru-buru ke belakang. Aku langsung masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras. Biar Mas Rige tahu kalau kali ini aku benar-benar sudah merasa sebal sampai ke ubun-ubun!

***

Aku lupa kapan pastinya anak itu pertama kali nongol di depan pintu. Tiba-tiba saja ia sudah menjadi ‘bagian’ dari rumah ini. Awal-awalnya ia masih bersama ibunya, Mbak Deyna yang kukenal memang tinggal di sebelah rumah bersama suaminya yang direktur sebuah perusahaan advertising kecil. Mbak Deyna juga kerja kantoran, tapi di tempat berbeda. Aku tidak begitu tahu persis di mana (kadang aku merasa iri padanya yang setiap pagi berangkat ke kantor sementara aku cuma jadi penunggu rumah sejak aku memutuskan untuk berhenti kerja dari perusahaan konfeksi karena capek!).

Lalu hari-hari selanjutnya anak itu cuma ditemani baby sitter. Dan datangnya selalu teratur. Menunggu saat-saat kapan Mas Rige pulang kantor. Mungkin pengasuhnya merasa tidak enak juga melihat muka masamku kalau tanpa Mas Rige. Tapi kalau saat weekend, bisa hampir seharian di rumah. Hanya menghilang ketika ibunya menjemput untuk mandi atau makan siang. Kadang Mas Rige membawanya jalan-jalan keluar dan pulang dengan segepok mainan dan cemilan. Heran, orangtuanya ngapain aja sih? Apa segitu sibuknya sampai membiarkan putrinya bersama orang lain? Ketika hal itu kubahas dengan Mas Rige, jawabannya simpel saja, “Tessa maunya main sama aku sih. Mungkin karena ada ikatan batin di antara kami ‘kali ya?” ucapnya dengan wajah sumringah.

Dan aku benci sekali melihat wajah Mas Rige seperti itu. Ia seolah-olah melupakan segalanya, termasuk istrinya di sampingnya. Seolah-olah, Tessa jauh lebih berharga dari apapun di dunia ini!

Huh. Aku mengeluh. Kalau begini terus aku bisa gila. Aku tahu apa yang sedang dirasakan Mas Rige. Aku tahu apa yang diobsesikan Mas Rige. Aku tahu kenapa Mas Rige begitu tergila-gila pada anak itu!

Sudah lima tahun perkawinan kami, tapi sedikit pun belum ada tanda-tanda akan dikaruniai seorang buah hati. Padahal kami sudah berusaha ke sana-kemari. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan tak ada yang ganjil dengan kondisi kami. Sama-sama sehat dan normal. Dokter pun menganjurkan agar kami (terutama aku) lebih banyak istrahat, banyak rileks, banyak minum ini, banyak makan itu… tapi buktinya sampai sekarang pun belum berhasil. Padahal aku sudah berhenti kerja dan kebanyakan rileks. Kami juga sudah mencoba pengobatan alternatif. Tapi cuma buang-buang duit saja. Hasilnya tetap nihil!

Karena itu aku tahu kenapa Mas Rige selalu tak mau melewatkan sedetik pun kalau bersama anak itu. Mungkin di kepalanya yang tertanam bahwa Tessa itu adalah anaknya sendiri. Kerinduan dan keinginannya yang kuat untuk sesegera mungkin memiliki buah hati membuatnya gelap mata. Aku malah curiga kalau Mas Rige sudah menyogok Mbak Deyna dan suaminya agar dibiarkan putrinya bersamanya terus!

Yang lebih menyakitkan, sejak anak itu sering kemari, hubungan kami pun sudah tak semesra dulu. Bahkan hubungan kami di kamar pun sudah tak sehangat dulu. Semua didominasi oleh Tessa, Tessa, dan Tessa. Kalau kebetulan kami keluar untuk belanja bersama ke mall, yang banyak dikunjungi Mas Rige adalah toko mainan dan perlengkapan balita. Huh. Padahal dulu, sebelum ada Tessa, seringnya malah ke toko asesoris otomotif. Mas Rige memang gandrung sama yang berbau otomotif, dan suka utak-atik Corolla kesayangan kami. Tapi belakangan hobinya itu pun sudah mulai diabaikannya. Semua demi Tessa, Tessa, dan Tessa!

Huh. Lama-lama aku berpikir apa tidak sebaiknya aku lenyapkan saja anak itu, biar Mas Rige kembali berkonsentrasi padaku dan proyek pembuatan anak yang sudah lama terbengkalai. Tapi bagaimana caranya? Masa’ aku harus membunuh anak itu?

Aku sedang menggenggam pisau dapur ketika anak itu muncul kembali dan seperti biasa disambut gembira oleh Mas Rige. Mereka tampak bercengkerama dengan penuh semangat, dan Mas Rige mulai lagi dengan aksi gendong-ciumnya. Kadang anak itu diangkatnya tinggi-tinggi membuat anak itu terkikik-kikik geli campur gembira. Dan Mas Rige makin semangat mencandainya.

Diam-diam aku membayangkan bagaimana kalau pisau dapur ini menancap di tubuh mungil itu. Mungkin tidak butuh waktu lama sampai dia terkulai lemas tanpa nyawa dan berlumuran darah. Lalu setelah itu Mas Rige akan kembali menjadi milikku. Lalu setelah itu Mas Rige akan kembali menghangatiku dengan godaan-godaannya yang menggemaskan dan selalu membuatku kangen padanya. Lalu setelah itu ia akan kembali memikirkan lanjutan proyek pembuatan anak seperti yang senantiasa kuharapkan dan tampaknya mulai dilupakannya. Namun sebelum niatku terlaksana, mendadak muncul sesosok tubuh lain dari balik pilar serambi depan. Sosok yang sudah kukenal.

“Eh… Teh Rina, lagi sibuk masak ya sampe bawa-bawa pisau segala….” sapa Mbak Deyna akrab dan langsung masuk ke dalam rumah begitu melihatku berdiri termangu di ruang tengah sambil memperhatikan kegembiraan Mas Rige dan anak itu.

Lekas-lekas kusembunyikan pisau di tanganku dan berusaha menyambutnya dengan ramah. “Ah, enggak… ini, tadi cuma abis ngiris-ngiris bawang di dapur, tiba-tiba aku dengar suara rame di depan,” kataku berusaha sewajarnya. “Apa kabar, Mbak? Nggak weekend keluar?”

“Gimana mo weekend, ini si Tessa susah banget diajak jalan-jalan kalau nggak sama Mas Rige. Malah Bapaknya sampe cemburu segala kok anaknya lebih akrab sama orang lain,” Mbak Deyna tertawa renyah.

“Aku bukan orang lain kok, Mbak,” seru Mas Rige menyela. “Aku ‘kan juga bapaknya Tessa. Bapak ketemu gede, hehehe!”

Semua tertawa mendengar gurauan Mas Rige, tapi aku tidak. Aku cuma tersenyum tipis biar tidak terlalu kentara ketidaksenanganku.

“Ya udah kalau begitu biar Tessa aku tinggal lagi. Tessaaa,” panggil Mbak Deyna kemudian. “Mo ikut Papa ke mall nggak?”

“Nggak!” sahut anak itu spontan. “Tecaa maunya ama Oom…”

Tuh, kan! Bener-bener deh tuh anak gak tau diri! Bandel pula! Udah ditawarin ibunya sendiri malah menolak mentah-mentah. Iiiih…. Pengen aku cincang saja tuh anak!

“Ya udah, Mama balik dulu. Awas ya Tessa jangan bikin berantakan rumah Oom!” lalu Mbak Deyna pamit padaku dan melangkah kembali ke luar. Aku mengantarnya sampai pintu depan.

***

Tapi sudah tiga hari ini Tessa tidak muncul. Wajah Mas Rige pun tampak murung. Pulang kantor ia seperti kehilangan semangat. Langsung ke tempat tidur tanpa mengganti pakaian kerja. Baru bangun kalau mau sembahyang. Makannya pun sekadarnya saja. Lebih banyak melamun daripada mengunyah.

Ada apa sih? Kok lemes begitu? Nggak biasa-biasanya deh,” tanyaku akhirnya, tak tahan.

“Apa kamu nggak ngerasa? Kamu sih, seneng aja anak itu nggak nongol-nongol lagi. Bahkan kalau anak itu mati kamu pasti akan berpesta pora!”

Astaga! Jadi Mas Rige tahu bulat-bulat semua apa yang kupikirkan selama ini? Ah, Mas Rigeku tersayang memang seorang yang perasa.

“Memangnya anak itu kemana?” tanyaku penasaran, tak peduli dengan omelannya.

“Sudah tiga hari ini ia koma di rumah sakit, dan mungkin takkan balik lagi ke sini.”

“Lho, memangnya dia sakit apa?”

“Kanker darah.”

“Masya Allah…!” aku celangap tak percaya.

“Dokter sudah menerka hidupnya takkan lama lagi sejak bulan-bulan kemarin. Itulah kenapa orangtuanya mengikuti saja semua keinginan anak itu, termasuk membiarkannya bermain di sini setiap hari. Mereka akan melakukan apa saja dan mengikhlaskan apa saja untuk membahagiakan anak itu di sisa hidupnya yang tinggal seujung kuku.”

Terbayang sosok anak itu yang selalu riang gembira saat bermain dengan Mas Rige. Terngiang suaranya yang cerewet dan tawanya yang riuh. Dan terbayang pula bagaimana sosok itu terbaring kaku dan hening dengan selang-selang infus yang menjulur di sekujur tubuhnya. Astagfirullah… tiba-tiba aku merasa sangat bersalah dan menyesal sekali. Apa yang telah kulakukan selama ini? Rupanya mata hatiku telah diselubungi rasa benci yang membabi buta, hingga membuatku sampai-sampai ingin membunuh makhluk kecil yang sebetulnya menggemaskan itu. Rasa benci yang muncul karena kecemburuanku padanya yang telah merebut hati Mas Rige-ku begitu rupa hingga membuat Mas Rige tergila-gila padanya dan sedikit mengabaikanku. Atau karena kesakithatianku karena belum dianugerahi buah hati yang telah lama diidam-idamkan Mas Rige dari rahimku? Ahh… Alangkah buruknya aku. Alangkah rendahnya…

Maka aku tak berpikir panjang lagi begitu kulihat Mas Rige ke kamar mengambil jaket lalu keluar untuk menghidupkan mesin mobil. “Mas, aku ikut,” ucapku seraya bergegas membuka pintu mobil dan mengambil tempat di sisinya. Tanpa kusadari rupanya setitik embun telah membulir di sudut mataku.

Mas Rige tak berkata apa-apa ketika melirikku. Ia cuma segera menghidupkan mesin lalu meluncur dalam diam.

Tidak ada komentar: