Selasa, Oktober 30, 2007

Mengapa Lebaran Selalu Indah, FEMINA No.40, September 2007

Mengapa Lebaran Selalu Indah
Cerpen: Sukma Wie


Di r
umah Sasti

“Mbok ya ditunda dulu to Sas, lamarannya…” rajuk ibu sambil mengiris kentang di meja dapur.

Sasti yang sedang memeriksa cake di dalam oven, segera mendongak. “Emang kenapa kalau sekarang?”

“Ibumu ini belum siap ditinggal sendiri,” mulut wanita separuh baya itu makin manyun dan potongan-potongan kentangnya seperti sengaja ditekan-tekan.

Sasti tersenyum menghampiri. Dari belakang tangannya langsung melingkar di pinggang wanita itu. “Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Mau, ibu melihat putri semata wayangnya jadi perawan tua? Lagi pula Mas Fajar ‘kan sekalian silaturahmi bawa orangtuanya kemari. Mumpung Lebaran…”

Ibu tidak menyahut. Ia terus saja mengiris-iris kentang dengan perasaan kesal.

Sasti melanjutkan, “Dulu waktu Tante Audy minta saran Ibu untuk menikahkah putrinya, Ibu usulkan supaya lamarannya di hari Lebaran aja. Kata Ibu itu adalah hari penuh berkah. Hari baik. Lha, putrinya sendiri mau dilamar di hari Lebaran kok minta ditunda?”

“Itu ‘kan lain. Audy tidak bakalan sendirian kalau putrinya diboyong suami pergi.”

Sasti tersenyum sambil mengeratkan pelukannya. “Memangnya habis Lebaran Sasti langsung diboyong pergi?”

“Tapi ‘kan tinggal menghitung hari. Pokoknya makin lambat makin bagus. Biar acara mantennya juga makin lama.”

Kali ini Sasti tak dapat menahan tawa. “Ibu lucu ih…”

Ibu merangsek manja, mencoba melepaskan diri dari pelukan Sasti “Ibu memang badut.”

“Lho, kok Ibu ngomong gitu?”

“Abis…kamu itu nggak sadar-sadar kalau Ibu sedih bakal kehilangan kamu.”

“Ibu…” Sasti kembali merangkul ibunya. “Ibu nggak bakalan kehilangan Sasti. Sasti dan Mas Fajar akan rutin mengunjungi Ibu. Lagi pula kalau kesepian ‘kan Ibu bisa nyewa DVD.”

“Mana seru kalau nonton sendiri.”

“Makanya, Ibu jangan mau kalah dong sama Sasti. Ibu itu masih cantik lho. Pasti banyak laki-laki yang mau jadi suami Ibu. Bapak nggak usah dipikirin lagi deh. Udah lewat. Biarin aja dia senang-senang sama keluarga barunya. Dia aja nggak pernah mikirin Ibu.”

“Ih, siapa juga yang mikirin Bapakmu!”

“Hayo…yang tiap malam fotonya ditaruh di bawah bantal itu siapa?”

Tanpa terduga, sebuah senggukan terdengar sayup-sayup lalu makin lama makin jelas, bersamaan dengan terhentinya gerakan tangan Ibu mengiris kentang.

“Ibu…? Maafkan Sasti…”

“Ibu belum bisa melupakan penghianatan Bapakmu.”

Sasti mengerti. Tidak mudah melupakan sakit hati dari sebuah cinta yang tak pernah mengenal lelah. Sasti menyaksikan sendiri bagaimana Ibu demikian patuh dan setia melayani Bapak. Bagaimana Ibu menaruh kepercayaan yang begitu besar pada pundak laki-laki itu. Namun, Sasti pula yang jadi saksi bagaimana sepotong hati hancur berkeping-keping ketika laki-laki itu pergi tanpa ampun meninggalkan Ibu. Awalnya Sasti pun tak bisa menerimanya, tapi waktu dan kesibukannya merangkai kisah cintanya sendiri di kampus lambat laun menghapus rasa sakit itu. Tidak seperti Ibu yang tetap menyimpan perasaan sakit yang meskipun senantiasa disembunyikannya namun selalu bisa dibaca oleh Sasti. Ya, sakit karena cinta adalah sakit yang tak ada obatnya. Kecuali oleh cinta itu sendiri.

***

Di rumah Fajar

“Ayolah, Pa. Lebaran kali ini Papa jangan ke mana-mana. Papa lamarin Sasti dong, sekalian silaturahmi sama keluarganya,” pinta Fajar begitu tahu ayahnya akan ke Kairo untuk urusan bisnis, seperti tahun-tahun lalu. Ia paham betul tabiat ayahnya yang sangat getol menyibukkan diri, bepergian ke sana kemari mengurusi bisnis-bisnisnya, sejak Ibu meninggal tiga tahun lalu.

“Tapi schedule Papa sangat padat dan ketat. Partner Papa bisa kabur kalau Papa nggak bisa bersikap profesional,” kilah ayahnya.

“Meskipun harus mengorbankan momen penting untuk anak Papa sendiri?”

“Fajar, kamu udah gede. Lamaran bisa ditunda kapan saja. Nggak harus sekarang-sekarang.”

“Tapi ini kesempatan, Pa. Lagipula Fajar udah janji ma Sasti dan keluarganya.”

“Itulah kamu suka bikin perjanjian sendiri tanpa melibatkan Papa.”

“Habis Papa sibuk melulu sih.”

“Kan hape Papa nggak pernah nggak diangkat kalau dari jagoan Papa. Kapan, coba, Papa nggak angkat?”

“Iya deh, Pa, sorry. Fajar yang salah. Tapi Papa bisa, kan, Lebaran besok ikut ke rumah Sasti? Pliiis, Pa, sekali ini saja.”

“Papa udah bilang itu bisa ditunda nanti-nanti. Nggak harus hari Lebaran.”

“Fajar tahu kenapa Papa selalu menghindari Lebaran di rumah.”

“Sok tahu kamu.”

“Papa ingin menghindari kenangan Lebaran bersama Mama, kan?”

“Sok tahu kamu, monyet kecil.”

“Iya kan, Pa?”

Papa terdiam. Lalu terdengar helaan napasnya yang berat berbarengan dengan pandangan kosongnya yang menembus ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu, namun Fajar bisa meraba bayangan yang melela di pupil matanya. Ya, bayangan seraut wanita cantik di usianya yang hampir limapuluh. Senyum yang menawan dibalut kerudung lembut, selembut hatinya. Laki-laki mana yang takkan terpatri pada hati seindah itu? Fajar malah sempat berpikir bahwa dia tidak akan menikahi wanita kecuali wanita itu menyerupai bundanya. Wanita yang setia, lembut, menyejukkan, dan sangat mengerti segala hal mengenai suami dan anaknya. Kasihnya yang demikian besar melampaui batas segala pamrih.

Namun cepat disadarinya bahwa pikiran itu kurang bijaksana, karena tak mungkin ada dua orang yang serupa persis di dunia ini. Hingga akhirnya hadir Sasti dalam hidupnya, yang menyodorkan pandangan baru tentang wanita ideal untuk dijadikan pendamping hidup. Dengan segala kekhasan sifatnya, Sasti mampu mengisi celah kosong di sisi hatinya. Gadis itu sangat spontan, apa adanya, lucu, kadang manja, tapi juga dapat bersikap dewasa. Yang pasti, satu hal yang membuatnya mantap dengan keputusannya, adalah bahwa wanita itu selalu membuatnya nyaman berada di sisinya. Ia ingat ucapan papanya suatu hari, “Kamu hanya perlu mencari wanita yang membuatmu nyaman dan percaya diri berada di dekatnya. Itulah syurga!”

Hmmm...namun ’syurga’ Papa sendiri telah tiada. Kanker rahim telah membawanya terbang ke syurga harfiah. Wanita syurga memang kadang hanya bisa ditemui sekali dalam hidup. Kecuali Tuhan berbaik hati menawarinya lagi.

***

Sedan hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan sebuah rumah bercat putih kehijauan dengan halaman yang asri penuh tanaman hias. Pak Hariansyah keluar setelah dibukakan pintu oleh sopir, disusul putranya Fajar. Kali ini laki-laki itu tampak sangat tampan dengan kemeja batik coklat terang. Keduanya berjalan masuk ke halaman, dengan langkah penuh percaya diri. Pak Hariansyah berkali-kali melirik anggrek bulan berwarna ungu di pojok halaman. Anggrek itu sedang mekar dan sangat menawan tertimpa cahaya lembut matahari.

Setelah mengetuk pintu sesaat, keduanya kemudian disambut ramah oleh Sasti yang siang itu mengenakan gaun terusan dari bahan satin berwarna hijau pupus, dengan kerudung lepas berwarna senada. Fajar tak henti-hentinya memandangnya kagum.

“Minal aidin wal faidzin,” sambut Sasti hangat sambil mencium tangan Pak Hariansyah yang membalasnya dengan mengusap hangat kepalanya. Meskipun baru beberapa kali bertemu laki-laki itu, namun karena sikap Sasti yang supel membuat laki-laki itu cepat terpikat dan akrab dengannya. “Bentar yah, Sasti panggilin Ibu.”

Tapi belum lagi Sasti beringsut ke belakang, sekonyong-konyong sesosok wanita separuh baya dengan dandanan cantik keluar dan langsung disambut hormat oleh Fajar.

“Tante, minal aidin wal faidzin…maaf terlambat dikit.”

“Oh nggak apa-apa… aduh, minumannya belum siap ya,” baru saja langkahnya hendak memutar kembali, tahu-tahu wajahnya berubah pias. “Kamu?!” tudingnya tiba-tiba pada laki-laki separuh baya di ruangan itu yang tak kalah pias pula wajahnya.

“Janna! Rupanya kau!” balas Pak Hariansyah.

Sasti dan Fajar memandang keduanya bergantian dengan pandangan melongo, tak mengerti.

“Jadi selama ini anak kita saling berhubungan?! Oh, tidak!” serta-merta wanita yang dipanggil Janna yang tak lain adalah ibu Sasti itu menarik lengan Sasti seperti ingin menjauhkannya dari Fajar.

“Kamu pikir aku pun akan setuju anakku berhubungan dengan anak wanita penghianat sepertimu?!”

“Kaulah yang penghianat! Kaulah yang tak tahu malu!” suara Janna melengking.

“Mana yang lebih berkhianat, aku atau kamu yang dengan entengnya mau dijodohkan dengan laki-laki lain?!”

“Keluarr!!!!” usir Janna dengan mata menyala.

“Janna,” ucap Pak Hariansyah dengan mata yang tak kalah nyala. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah lupakan penghianatanmu!” lalu ditariknya lengan Fajar seperti menarik lengan anak kecil untuk keluar dari ruangan itu.

“Pah,” cegat Fajar masih bingung. “Ada apa sih sebetulnya?”

“Sudah, Jar, lebih baik kita jauhi keluarga terkutuk ini.”

“Fajar nggak mau pergi sebelum segalanya jelas.”

“Fajar!!!” suara Pak Hariansyah tiba-tiba meledak.

Fajar kaget mendengarnya. Seumur-umur, semarah-marahnya ayahnya, belum pernah didengarnya suara semarah itu. Fajar menoleh ke Sasti yang juga sedang bertanya bingung ke ibunya.

“Laki-laki itu telah menghianati Ibu. Kau tidak pantas memiliki keturunannya. Buah pasti jatuh tidak jauh dari pohonnya,” jelas Bu Janna.

“Maksud Ibu, bapaknya Fajar mantan pacar Ibu?”

“Ibu kira kamu bukan anak kecil lagi yang tidak bisa menangkap maksud Ibu.”

“Tapi…tapi…Sasti nggak ngerti, kok…malah Ibu yang dituduh berkhianat..?”

“Karena Ibu menerima perjodohan dengan Bapakmu.”

“Berarti Ibulah yang salah.”

“Ibu lakukan itu untuk membalas penghianatannya. Dia memacari sahabat Ibu di belakang Ibu.”

Sasti ternganga. Refleks pandangannya melompat ke beranda. Kedua laki-laki itu rupanya sudah berjalan menuju ke luar halaman. Sasti memburunya ke pintu.

“Jar!” panggil Sasti.

Fajar yang sedang berjalan di belakang ayahnya menoleh.

“Sasti!”

Tapi baik Sasti maupun Fajar masing-masing segera ditarik menjauh. Mereka pun hanya bisa saling memandang dari jauh sampai Fajar dan ayahnya masuk ke mobil dan meluncur pergi.

***

Nada dering khusus panggilan dari Fajar terdengar mengalun. Atas Nama Cinta-nya Rossa. Sasti segera menyahutnya.

“Rupanya mereka punya story di masa lalu, dan meninggalkan kebencian yang tak pupus di makan waktu,” ucap Fajar langsung.

“Ya,” sahut Sasti. “Kau tahu kenapa ibuku menerima perjodohan itu?”

“Kenapa?”

“Karena ayahmu memacari sahabat ibuku.”

“Ayahku bilang itu nggak benar. Waktu itu ibumu emosi, nggak konfirmasi dulu langsung percaya aja omongan orang-orang. Buktinya, ayahku menikahi wanita lain, bukan sahabat ibumu. Fitnah itu sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang iri dan ingin memisahkan ibumu dan ayahku.”

“Kalau begitu…ada salah paham. Sebaiknya ini aku jelaskan pada Ibu.”

***

Beberapa jam kemudian.

“Jar, Ibu mengaku sudah tahu lama tentang fitnah itu, tapi Ibu nggak yakin, makanya dia tetap tak mau menerima ayahmu.”

“Atau… dia merasa bersalah karena keburu emosi menerima perjodohan itu?”

“Bisa jadi. Tapi Ibu terlalu angkuh untuk mengakuinya.”

“Dan ayahku pun terlalu angkuh untuk memaafkan.”

“Hmmm… kalau begitu, aku punya akal.”

***

“Udaah… ngapain sedih mikirin laki-laki itu. Masih banyak laki-laki lain dari keturunan baik-baik,” hibur Bu Janna melihat putrinya terus dirundung sedih.

“Sasti bukan mikirin Fajar, Bu. Tapi Pak Hariansyah, ayahnya Fajar.”

“Huh, apa lagi dia! Kenapa sih musti mikirin…”

“Dia sedang koma, Bu. Jantungan.”

“Biar koit aja sekalian.”

“Ibu…”

Bu Janna menarik napas dalam. Lalu beringsut masuk ke kamar.

***

“Ibu nangis?” heran Sasti ketika menyusul masuk ke kamar ibunya.

“Ibu bingung, Sasti. Ibu benci banget pada laki-laki itu, tapi sejak melihatnya lagi kemarin, entah mengapa seperti ada sesuatu dalam diri Ibu yang Ibu nggak ngerti. Dan sekarang laki-laki itu sedang sekarat. Ibu bingung…”

Dalam hati Sasti tersenyum. “Kalau memang Ibu merasa perlu minta maaf dan mau maapin juga, kenapa kita nggak ke tempatnya aja sekarang?”

“Apa itu tidak membuatnya merasa diri benar?”

“Memang dia benar, kan?”

Wanita itu terdiam. “Yah, Ibu yang salah. Waktu itu Ibu keburu emosi.”

“Tapi masih ada waktu kok, Bu.”

“Apa dia mau memaafkan Ibu?”

“Memaafkan sih iya, mungkin. Tapi kalau menerima cinta Ibu lagi seperti dulu, mmmm, nggak janji deh!”

Serta-merta jari-jari keriput wanita itu meluncur ke pinggang Sasti, mencubitnya. Wajah wanita itu tampak bersemu merah.

***

Di rumah sakit.

Derap tapak sepatu terdengar berirama cepat menghampiri sebuah ruang ICU di lantai lima sebuah rumah sakit mewah. Pemiliknya adalah dua orang wanita dengan wajah salah satunya tampak dibalur cemas.

Sementara dari arah berlawanan, terdengar pula derap tapak sepatu berirama tak kalah cepat menuju ruang ICU yang sama. Pemiliknya adalah dua orang pria dengan wajah salah satunya tak kalah cemas.

Mereka bertemu tepat di depan pintu ruang ICU tersebut.

“Janna?”

“Mas Har?”

Keduanya saling berpandangan lama, takjub –antara rasa tak percaya, rasa gemas menyadari telah dikerjain anak mereka, dan rasa rindu yang membuncah di dada– sebelum akhirnya berbaur dalam pelukan.

“Maafkan aku, Mas.”

“Aku juga.”

Hmmm... Itulah mengapa Lebaran selalu indah. Segala benci dan dendam luruh, tergantikan kebahagiaan yang menyatu. Saking larutnya, mereka sampai lupa kalau kedua anak mereka sedang menyaksikan dengan tersenyum-senyum.

“Jadi gimana, Bu, lamaran Fajar diterima dong?” senyum Sasti sambil melirik mesra sang pujaan hati di sampingnya.

“Hmmm,” Bu Janna berlagak mikir-mikir sambil melirik tak kalah mesra pada laki-laki di sampingnya yang balas memandangnya pula dengan mesra. “Kayaknya ntar-ntar dulu deh jawabannya,” ucap wanita itu dengan suara genit.

“Lho, kan tadi udah saling maapan,” protes Fajar.

“Iya, Bu, apa lagi sih yang ditunggu?”sungut Sasti.

“Tunggu sampai ada yang melamar Ibu dulu."

"Ha???”

Tidak ada komentar: