Selasa, Oktober 30, 2007

Ketika Petang Ini Aku Bertemu Janna, CHIC, March 2007

Ketika Petang Ini Aku Bertemu Janna

Cerpen: Sukma Wie


Aku sudah hampir memutar tumit ke arah Metro ketika sebuah pekikan mengerem langkahku tiba-tiba.

“Estheeer…!”

Dan tubuh tinggi semampai itu telah tegak di hadapanku. Tersenyum lebar dengan tangan terbuka. Dan aku nyaris tak percaya dengan penglihatanku.

“Janna?”

Wajah coklat manis itu mengangguk. “Ya, aku Janna. Awas kalau kamu sudah lupa!”

“Astaga, Janna. Bagaimana mungkin kita bisa bertemu di sini?”

“Tapi kita sudah bertemu di sini, kan?”

Dan kami pun berpelukan erat. Sebuah pelukan yang kurasakan ganjil setelah berpuluh-puluh musim.

“Aku benar-benar surprise, Jan,” kataku jujur setelah kami saling melepaskan pelukan. Ya, betapa tidak? Terakhir aku melihatnya masih di kota kecil Bau-bau, Buton pulau penghasil aspal nun jauh di timur sana. Dan sekarang kami bertemu di kota megapolitan ini.

“Kamu pikir aku tidak merasa surprise? Bayangkan, Te, sepuluh tahun? Duapuluh tahun? Dan kamu masih seperti dulu: langsing dan cantik! Apa sih rahasianya?”

“Ah, bisa aja kamu,” kataku agak tersipu, apalagi pada saat ia mengatakan itu beberapa anak muda keren-keren terpancing untuk ikut menyaksikan ‘pertunjukan’ kami. Saat itu kami memang sedang berada di UG Mall Taman Anggrek bagian selatan, tepat di depan elevator Metro. Sebuah tempat yang lumayan ramai lalu lalang. Tapi seperti dulu-dulu, Janna (dan aku) selalu tak ambil pusing sekeliling. Kami terus saja larut dalam ketakterdugaan yang asyik (dan aneh).

“Aku berkata jujur kok,” ucap Janna dengan mimik sungguh-sungguhnya yang khas, “dan tulus.” Ia tersenyum.

Aku ikut tersenyum. “Aku tahu. Tapi aku juga ingin berkata jujur dan tulus kalau kamu tambah cantik dan bikin pangling! Tahu nggak, tadi itu hampir-hampir aku tak kenal kamu.”

“Ah, bisa aja kamu,” kini giliran dialah yang tersipu.

“Eh, cari tempat asyik yuk! Di bawah ada Starbucks,” ajakku kemudian.

“Okey!” sahutnya penuh semangat.

Dan kami pun segera turun sebelum satpam mengusir kami.

***

Sudah berapa lama ya kami tidak berjumpa? Sepuluh tahun? Ah… rasanya lebih. Sejak tamat SMA dan kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda, sejak itu kami tidak pernah lagi berkomunikasi. Janna benar-benar seperti disapu angin. Lenyap begitu saja. Dan baginya aku pun mungkin begitu. Lenyap tak berjejak. Aku (dan mungkin juga ia) kemudian seperti merasa tidak perlu untuk saling mencari tahu kabar masing-masing. Apalagi untuk saling mengingat satu sama lain. Kesibukan baru di lingkungan baru dan kampus baru terasa lebih mengasyikkan. Dan lagi pula, buat apa harus diingat? Tak ada sesuatu yang menarik yang dapat memaksa kami untuk saling mengingat satu sama lain selain persaingan diam-diam dan perang dingin yang terus meronai pertemanan kami!

Aku ingat ketika Janna terpilih jadi bendahara OSIS dan aku cuma wakil sekretaris yang terpaksa harus bersyukur dapat tempat di belakang Murtaba yang terpilih jadi sekretaris. Betapa bangganya ia! Seolah-olah ia baru saja dapat satu skor tambahan setelah beberapa hari lalu ia harus menelan kepahitan karena aku berhasil melampauinya sebagai juara kelas ranking pertama. Berhari-hari ia tunjukkan sikap pongahnya dengan berjual mahal setiap kali aku atau teman-teman pengurus lain butuh duit untuk kegiatan ini-itu. Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa bulan kemudian, namaku kembali berkumandang di lapangan upacara sebagai pemenang sayembara mengarang. Ia kembali gelisah. Tapi kegelisahannya ternyata cuma sebentar. Ketika ada pemilihan utusan Paskibraka yang akan dikirim ke Istana Negara mewakili provinsi, ialah yang terpilih berpasangan dengan Umul yang tingginya memang sepadan. Tapi pada saat yang hampir bersamaan aku juga terpilih jadi finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja dan membawa harum nama sekolah ke pentas nasional. Begitu terus. Kami saling bersaing dan tak mau kalah satu sama lain. Menunjukkan kelemahan apalagi kekurangan adalah pantangan besar yang bisa berakibat dosa tujuh turunan. Alhasil, hari-hari kami terus diwarnai ketegangan dan teror perang dingin yang tak habis-habis.

Aku lupa persisnya sejak kapan ajang perang itu digelar. Yang teringat cuma sebuah insiden kecil di ruang laboratorium bahasa. Ya, apa lagi kalau bukan masalah cinta! Ia yang semua orang tahu menyimpan perasaan pada Ekky, tiba-tiba memergokiku sedang berdua cowok itu membahas materi yang baru disampaikan tutor tamu dari luar. Dan aku tidak bisa menolak pesona yang ditebarkan Ekky saat berdekatan. Cowok itu terlalu menarik untuk dihindari. Dan rupanya aku tidak bertepuk sebelah tangan. “Sudah lama aku memperhatikan kamu,” kata Ekky terbuka. “Dan baru sekarang aku bisa dekat-dekat. Kau tahu betapa senangnya aku!” dan selanjutnya tak perlu direka-reka lagi. Karena Ekky benar-benar cowok sejati yang takkan membiarkan cewek yang disukainya lepas dari jangkauannya. Dan tak perlu direka-reka pula apa akibat yang harus kami telan. Janna seperti orang kesurupan melihat kedekatan kami. Hari demi hari kemudian seperti ada peraturan tak tampak yang mengharuskan kami menggelar persaingan diam-diam!

Kupikir, ya, sejak itulah perang dingin itu tergelar hingga… mungkin, hingga kini.

Janna sudah hampir separuh cangkir menyeruput caffe latte-nya. Sedangkan aku lebih banyak menghabiskan cake-nya yang lezat.

“Gimana, udah punya buntut berapa sekarang? Jangan bilang kamu belum kawin-kawin di usiamu setante-tante ini!” tanyanya sambil bergurau.

“Aku?” aku mengangkat wajah dengan perasaan terkejut yang diam-diam kusembunyikan. Harus bagaimanakah kuceritakan padanya? Aku, Esther yang jagoan KIR, jagoan mengarang, jagoan bulutangkis, dan selalu langganan ranking satu di kelas ternyata cuma memiliki lahan yang gersang dan tak bisa ditanami apa-apa? Tujuh tahun Mas Bondan, suamiku bekerja keras banting tulang setiap hari menyirami dengan setia tanaman cinta yang ditanamnya, tapi selalu saja berakhir dengan kesia-siaan. Lahan garapan itu benar-benar tak layak tanam alias tidak subur alias mandul! Tentu saja Mas Bondan kecewa. Siapa sih petani yang tak kecewa kalau setelah mengupayakan segala daya untuk menyuburkan lahan garapannya, ternyata tak membuahkan hasil apa-apa? Boro-boro membayangkan hasil buahnya yang sehat-sehat, ranum dan menggemaskan! Tapi Mas Bondan memang petani yang sabar dan setia…

“Te, kau dengar aku, kan?” Janna menyentuh lenganku karena pertanyaannya belum kujawab.

“Ya, tentu. Masa’ aku belum kawin! Apa aku ada potongan?” kataku tertawa dengan otot punggung yang dingin dan menegang tiba-tiba. “Bahkan sekarang aku sedang bahagia-bahagianya dengan Mas Bondan karena syukur alhamdulillah di usia perkawinan kami yang ketujuh kami sudah dikaruniai tiga malaikat kecil yang lucu-lucu. Mas Bondan memang petani yang tangguh!”

“Masa’?” Janna membelalak girang. “Wah… pasti lucu sekali!”

“Kamu sendiri bagaimana?” ya, aku ingin tahu ‘kehebatan’ perempuan ini. Sudah sejauh mana ia melampauiku dalam sepuluh tahun terakhir ini!

“Aku baru menikah dengan Murtaba tiga tahun lalu, dan kami menetap di Makassar karena Murtaba menjadi dosen di Unhas.”

“Murtaba? Astaga, Murtaba yang sekretaris dan si seksi sibuk itu, kan?”

“Kau pikir ada Murtaba yang lain? Tapi benar lho, dia benar-benar seksi abis,” Janna tak sanggup menyembunyikan rona merah di wajahnya.

“Ah, seperti apa dia sekarang?”

“Kau takkan percaya. Dia sudah bermetamorfosa menjadi pangeran impian ketika kami bertemu pertama kali setelah perpisahan itu. Belakangan aku tahu ternyata ia sibuk menambal sana-sini kekurangannya dengan upaya penuh semangat. Dan hasilnya aku sudah rasakan, memang benar-benar hebat! Bahkan setelah tiga tahun pernikahan kami pun, tubuhnya tetap atletis dan kuat seperti pria-pria Men’s Health. Makanya aku pun tak mau kalah usaha…”

“Pantas kau makin cantik,” kataku jujur.

“Ah, bisa aja kamu,” ia kembali tersipu. “Kamu juga, pasti pria bernama Bondan itu hebat sekali karena telah membuatmu menjaga tubuh tetap seseksi dulu. Atau ini karena pengaruh ‘olahraga’ kalian yang selalu penuh vitalitas dan memuaskan?” ia mengikik geli.

“Ah, bisa aja kamu,” giliran akulah yang tersipu. Tapi kali ini ia tak salah. Aksi-aksi Mas Bondan memang selalu hebat di atas ranjang dan kami selalu merasa puas bersama setelahnya. Sayang… “Ohya, sudah berapa lama kamu tiba di Jakarta?” tiba-tiba aku sadar.

“Baru seminggu.”

“Seminggu? Wah, pasti ada urusan penting sampai selama itu. Murtaba ikut juga?”

“Dia cuma mengantar, lalu balik lagi setelah dua hari.”

“Hati-hati lho di Jakarta kalau kelamaan berjauh-jauhan,” godaku.

“Emang kenapa?”

“Banyak serigala berbulu kucing!”

Kami tertawa bersama.

“Lalu dalam rangka apa berlama-lama di Jakarta?” tanyaku kembali.

“Memangnya tidak boleh aku berlama-lama di ibukota yang aku pun turut membiayai perkembangannya dari pajak yang kusetor setiap tahun?”

“Serius nih, Jan.”

“Oh, aku cuma jalan-jalan kok,” ucapnya sedikit agak kikuk.

“Dan kau meninggalkan pekerjaanmu? Awas jangan bilang Janna yang aktivis itu sekarang menjadi salah satu dari empatpuluh juta orang yang bikin pemerintah pusing putar otak.”

Ia tertawa. “Nggaklah. Aku kerja di trading company, ekspor-impor, dan sekarang ambil cuti. Sebulan.”

“Wow! Tahan kau selama itu jauh dari belaian Murtaba? Atau jangan-jangan malah dia yang nggak tahan lantas….”

“Ih jangan macam-macam kamu! Murtaba bukan tipe pria seperti itu. Lagian dua hari lagi aku sudah balik kok. Aku selalu mikirin tak ada yang bisa mengurus anak-anak sebaik aku.”

“Anak-anak atau bapaknya?” godaku lagi.

“Terlebih bapaknya!”

Kami kembali tertawa bersama.

Tak terasa dua jam lebih kami telah menghabiskan waktu dengan mengobrol. Dan waktu maghrib sebentar lagi tiba. Kami lalu bertukar nomor hp untuk memudahkan komunikasi selanjutnya.

“Boleh ‘kan aku membajak waktumu sebentar-sebentar mumpung aku lagi di sini?” kata Janna sambil berdiri.

Aku tersenyum mengangguk. “Kau tahu, bekerja di advertising seperti bekerja di rumah sendiri. Bebas menentukan kapan kau ingin lepas dari rutinitas, apalagi sekarang ini kantorku sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap manajemen. Mungkin sebentar lagi akan ada demo.”

“Lho, kenapa?”

“Skandal di mana-mana!”

Ia tertawa mengerti, lalu kami pun berpisah setelah saling menempelkan pipi di kiri dan kanan.

***

Malam harinya, aku terkejut dan penasaran menerima sms dari Janna. Kamu menang, Te. Kamu bahagia dan sukses.

Lho, apaan nih?

Buru-buru aku meneleponnya. “Ada apa, Jan? Kok kesannya melankolis gitu.”

Tanpa kuduga suara serak Janna yang kudengar. “Maafkan aku, Te. Aku tidak jujur kepadamu. Rupanya hawa perang dingin yang dulu pernah menghinggapi kita masih menerpa. Aku tiba-tiba terdorong untuk tidak terbuka tentang apa yang sedang aku hadapi kini, karena takut akan menjadi rendah dan tak bernilai di matamu.”

Aku tergugu. Jadi dia juga berbohong. Bukan cuma aku! Masya Allah, apa-apaan nih? Kami sudah kepala tiga, tapi sikap kok masih kayak abege-abege kurang kerjaan?

Aku di ambang ragu apakah perlu berterus terang pula tentang kebohonganku atau kusimpan saja biar aku dan Tuhan saja yang tahu. Tapi bagaimana kalau dia tahu bahwa aku pun ternyata tidak lebih baik darinya? Bagaimana pandangannya? Menghinaku? Melecehkanku? Memandangku sebelah mata? Rasanya aku tidak sanggup. Aura masa lalu itu masih kuat mencengkeramku. Tapi… kalau dia saja bisa bersikap jujur, mengapa aku tidak?

“Te… kau masih di situ?” sentaknya tiba-tiba.

“Ya, ya, aku masih mendengarkanmu, Jan.”

“Terus terang, aku ke sini tidak cuma sekadar jalan-jalan. Bahkan Murtaba ikut ambil cuti untuk menemaniku sebulan di Rumah Sakit Dharmais.”

“Memangnya… ada apa?” hatiku mulai dijalari perasaan tak enak.

“Payudaraku, Te…” suara Janna terdengar makin serak dan menjauh.

“Kamu…,” tiba-tiba lidahku kelu, “…kanker?”

“Dan sebentar lagi dadaku akan rata…”

“Oh my God,” begitu saja seruan itu meluncur dari bibirku, nyaris tak percaya. Janna yang cantik. Janna yang berbodi nyaris sempurna. Janna yang periang dan penuh semangat. Janna yang selalu percaya diri dengan segudang prestasi dan aktivitasnya. Sekarang menjelma jadi Janna yang malang dengan dada rata tak ubahnya laki-laki. Bahkan laki-laki atletis saja masih menonjolkan dadanya yang berotot. Berarti kondisi Janna akan lebih mengenaskan dari laki-laki. Padahal siapapun tahu kalau payudara yang menonjol adalah salah satu identitas mutlak seorang perempuan. Tanpa payudara, dibilang apa perempuan itu? “Aku harap kamu bisa tabah menerimanya, Jan.”

“Yah… itulah yang kulakukan setiap detik sekarang ini. Berusaha mengumpulkan remah-remah ketabahan yang berceceran. Aku hampir nggak kuat, Te!”

“Aku yakin kamu kuat. Aku tahu siapa Janna. Seorang perempuan yang tak pernah kenal kata menyerah, bahkan tak pernah mau disaingi.”

“Tapi sekarang aku kalah, Te. Kamu menang….” Suaranya kembali menjauh dan asing.

Ups! Aku baru sadar kalau aku telah kelepasan mengungkit kembali kenangan masa lalu itu di saat sensitif begini. “Maksud aku… sori, Jan. Aku nggak bermaksud….”

“Ya, kalaupun kau bermaksud mengingatkanku akan persaingan kita yang entah kapan akan berakhir, kali ini aku terima dengan besar hati. Karena kenyataannya memang begitu. Aku tidak bisa memungkirinya, aku kalah…”

“Tapi Tuhan Maha Adil, Jan,” tiba-tiba saja aku memutuskan untuk berterus terang pula kepadanya. “Yang kalah bukan cuma kamu. Kita sama-sama jadi pecundang. Tak ada yang menang. Aku… aku juga berbohong padamu….”

“Maksud kamu?”

“Aku belum punya anak. Dan mungkin takkan pernah punya anak,” aku menelan ludah pahit.”Kami sudah berusaha periksa dan berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Tujuh tahun, Jan, bayangkan… tujuh tahun kami pontang-panting dan kami tetap harus menelan kenyataan pahit bahwa memiliki keturunan hanyalah impian belaka. Aku yang mandul,” ucapku berusaha tegar.

“Benarkah?”

“Ya.”

“Kalau begitu aku merasa ikut prihatin. Kasihan kamu…”

“Ya, nasib kita sama, Jan. Cuma beda kasus.”

Sesaat kemudian tak terdengar lagi suara Janna. Dia seperti tenggelam dalam perenungan yang dalam. Merenungi nasib? Menyesalinya? Atau barangkali tenggelam dalam keharuan karena tak menyangka kami memiliki ‘penderitaan’ yang sama? Atau justru sedang menyelami bagaimana rasanya menjadi aku? Bagaimana rasanya menderita dalam kehampaan harapan untuk memiliki sang buah hati sementara berjuta makhluk lain demikian mudahnya membuang-buang persemaian hingga membuahkan banyak hasil yang kemudian kebanyakan ditelantarkan?

Entahlah. Tak ada yang mampu meraba apa yang sedang dipikirkan Janna. Namun kelak, beberapa menit sesudah pembicaraan telepon kami terputus, barulah aku tahu arti dari kebungkaman dan nada suaranya yang sontak berubah tanpa kuduga itu.

Maaf, Esther. Ada perubahan skor. 1-0 untukku. Cerita kanker itu fiksi. Hanya untuk memancing. Ternyata aku masih lebih baik darimu.

Aku benar-benar terkapar membaca sms-nya. Tak menyangka kalau Janna bisa sejahat itu. Kupikir segalanya telah berubah. Kami bukan lagi gadis abege yang senang licik-licikan, senang persaingan-persaingan, senang saling menjatuhkan satu sama lain. Kami sudah terlalu berumur untuk itu. Yang kami inginkan sekarang adalah perdamaian. Tapi ternyata aku keliru. Persaingan diam-diam dan perang dingin di antara kami seolah-olah sudah menjadi takdir yang tak mungkin terhapus. Terus mendidih selamanya.

Karena itu, aku pun tak mau kalah. Kubalas sms-nya dengan penuh dendam. Kau pikir aku begitu bodoh mau berjujur-jujur padamu? Datang saja ke rumahku. Dan lihat betapa bahagianya keluargaku yang lengkap. Bahkan aku lebih kaya dan tak norak sepertimu. Skor 2-1!

Aku puas setelahnya, dan lalu segera menghapus nomornya. No more Janna!

Tidak ada komentar: